
Konflik lahan antara perusahaan, termasuk perkebunan sawit dan warga banyak terjadi di Kalimantan Barat, dan berkepanjangan karena tak ada penyelesaian serius, seperti kasus anak perusahaan First Resources di Ketapang ini.Ujung-ujungnya warga selalu menjadi korban, sudahlah lahan hidup mereka terancam, dibui pula. Kepolisian harus memiliki kemampuan mumpuni dalam memahami konflik-konflik seperti ini, bukan sekadar berdiri di pihak perusahaan. Foto: Sapariah Saturi
Bethlyawan, kepala Desa Batu Daya, Bethlyawan, ini berada di balik jeruji besi Polda Kalbar gara-gara mempertahankan lahan adat yang hendak terampas perusahaan sawit. Adalah PT Swadaya Mukti Prakarsa, anak usaha First Resources, tanpa koordinasi dengan aparatur pemerintah desa dan adat setempat menggarab lahan untuk sawit.
“Penggarapan ini merugikan masyarakat desa hingga tidak bisa untuk keperluan masyarakat sehari-hari,” katanya dalam blog pribadi.
Desa Batu Daya, terletak di Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Wilayah ini dikelilingi perkebunan sawit. Padahal, wilayah itu kaya sumber daya alam, dan potensi wisata.
Ia juga masuk kawasan lindung dan sebagian kebun karet masyarakat dan tanah adat seluas 1.088,33 hektar. Di kawasan itu terdapat Bukit Batu Daya, atau dikenal dengan Bukit Onta. Bukit ini berbatu cadas. Ketinggian lebih dari 100 meter, dan kerap menjadi tempat panjat tebing.
Akses ke gunung ini dapat melalui jalan darat setelah melewati perkebunan sawit. Sawit di daerah ini sudah sejak 1990-an dan hampir merambah kaki bukit hingga sering terjadi konflik dengan masyarakat setempat.
Desa Batu Daya, cukup jauh dari ibukota provinsi. Sinyal telepon selular kurang baik. Belum ada trayek angkutan umum ke sana. Dari Pontianak, desa ini lebih mudah ditempuh. Melalui jalan arah Rasau Jaya, naik speed boat selama tiga jam ke Teluk Melanau, Kayong Utara. Perjalanan diteruskan ke Desa Matan, baru Desa Batu Daya.
Jika menggunakan pesawat, dari Pontianak ke Ketapang kurang lebih 40 menit, menuju Teluk Melanau kurang lebih 100 km, selama tiga jam. Jalur lain darat ke Kecamatan Tayan menuju ke Kecamatan Simpang Dua.
Hendrikus Adam, koordinator Divisi Riset dan Dokumentasi Walhi Kalbar, mengatakan, perkebunan sawit hadir kala warga termakan janji perusahaan. “Daerah jauh dari ibukota kabupaten, perusahaan menawarkan kesejahteraan, walau kenyataan setelah bertahun-tahun tidak demikian.”
Adam mengatakan, sejumlah korporasi pernah ada di wilayah ini, seharusnya memberi dampak baik. Penguasaan hutan adat oleh perusahaan, karena pemerintah daerah mengeluarkan hak guna usaha
“Masyarakat adat jauh sebelum korporasi masuk. Dalam keseharian, hutan adat dikelola komunal. Arealnya dilepaskan Pemda untuk sawit.”
Terhitung 1088,33 hektar hutan adat dicaplok perusahaan. Pada 1995, Sidin, ketua Adat Baya, meminta perusahaan mengeluarkan hak kelola masyarakat itu dari konsesi. Hingga kini, sengketa lahan belum selesai, sampai terjadi penangkapan lima warga desa.
Sulistiono, dari Gerakan Bantuan Hukum Rakyat Kalbar, mengatakan, telah mengirimkan surat permohonan penanggguhan dua warga ditahan Polda Kalbar, yakni Yohanes Singkul dan Anyun. “Tinggal menunggu jawaban dari Polda.” Saat ini, warga desa telah saweran. Mereka mengumpulkan dana Rp10.030.000, akan diserahkan sebagai jaminan penangguhan penahanan.
Selain dana saweran warga juga mengumpulkan lebih seribu tandatangan jaminan penangguhan penahanan. Jaminan ini juga dilakukan sejumlah warga Kalbar melalui berbagai organisasi. Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP) turut memberikan surat jaminan penangguhan penahanan. Br. Stephanus Paiman, menyatakan, bersedia menggantikan kedua warga bila penangguhan tidak dikabulkan.
Adam pun membuat petisi di change.org, meminta Kapolda Kalbar melepas dua warga desa yang dikriminalisasi itu. Petisi itu, ditujukan kepada Kapolri, Kapolda Kalbar, Bupati Ketapang dan Komnas HAM.
Kapolda Minta Polisi Tak Bela Perusahaan
Brigjen Pol Arief Sulistyanto, Kapolda Kalbar, memberikan arahan selama tiga jam kepada seluruh Kapolres di jajaran Polda Kalbar, Sabtu (31/5/2014). Dia meminta seluruh Kapolres tidak berpihak perusahaan yang berkonflik dengan warga.
“Proporsional saja, dan professional. Dilihat latarbelakang, kalau perusahaan salah, jangan dibela, walau ada anggota yang ditempatkan menjaga perusahaan itu.”
Hal ini, mencegah stigma kepolisian menjadi alat perusahaan dan tameng dan berbenturan dengan masyarakat. Sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, Arief meminta semua kepala kepolisian bisa memetakan potensi masalah di daerah masing-masing.
Terpisah, Hidayat Nasution, general manager affair SMP, membela diri. Dia mengatakan, perusahaan sudah melakukan kewajiban-kewajiban kepada masyarakat. “Kita sudah membayarkan uang Rp250 ribu per keluarga untuk periode 2014-2016,” katanya.
Hidayat mengatakan, Yohanes Singkul –salah satu warga yang ditangkap mewakili warganya menerima uang secara simbolis dari perusahaan. Total, masyarakat mengantongi sekitar Rp6 juta.
Berdasarkan kesepakatan antara warga dan perusahaan, jumlah akan ditambah hingga menerima Rp550 ribu per keluarga untuk 1.250 keluarga. “Sisa akan kita bagikan dalam waktu dekat,” kata Hidayat.
“Wilayah” SMP di Ketapang, meliputi empat desa, yakni, Batu Daya, Sempurna, Mekar Harapan dan Matan Jaya, termasuk Dusun Air Manis dan Dusun Jelutung.
Bertahan dari Cengkeraman Perusahaan Sawit, Dua Warga Ketapang Masuk Bui was first posted on June 11, 2014 at 12:07 pm.