Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 209 articles
Browse latest View live

Warga Pulau Padang Buka Posko di DPRD Riau

$
0
0

WARGA Pulau Padang bersama perwakilan Serikat Tani Riau (STR) dan Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Senin(25/6/12), mengadakan aksi  solidaritas terhadap tujuh warga yang akan membuka Posko Bakar Diri di DPRD Riau.

Mereka menuju Radio Republik Indonesia (RRI), untuk membacakan aspirasi. Aksi dimulai dari Pustaka Wilayah Soeman HS, melewati kantor Gubernur Riau dan tiba di RRI.

Tiba di RRI, mereka langsung membacakan tuntutan kepada Presiden RI terkait permasalahan Pulau Padang.  Ady Kuswanto Sekretaris Jendral Serikat Tani Riau (STR) dalam tuntutan  mengatakan, Presiden selaku kepala negara harus menyelesaikan masalah Pulau Padang.  “Jika diserahkan ke Kementerian Kehutanan tidak menghasilkan solusi,” katanya seperti dilaporkan Ahlul Fadli, dari Bahana Mahasiswa.

Foto: Ahlul Fadli

Menurut dia, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sudah mengeluarkan solusi untuk Pulau Padang  dengan program Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Namun, STR dan warga Pulau Padang menolak penuh program  ini.

“Sesungguhnya program HTR tidak bisa dipaksakan oleh  Kemenhut untuk menjadi solusi penyelesaian konflik.”  Pemerintah telah memberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di  Pulau Padang.

Selesai di RRI, massa menuju DPRD Riau. Mereka akan meminta tanggapan atas rencana aksi bakar diri, sekaligus membuka Posko Bakar Diri. “Kami akan membuka posko selama satu minggu, jika tidak jawaban dari dewan kami ambil putusan berangkat ke Jakarta untuk aksi,” kata Ridwan, ketua STR Riau.

Muslim Koordinator Jikalahari kepada Mongabay, mengatakan, organisasi lingkungan di Riau langsung berkoordinasi untuk membahas rencana aksi bakar diri tujuh warga Pulau Padang ini.  ”Kami berharap pemerintah segera bertindak atau mengeluarkan kebijakan agar warga membatalkan aksi ini.”

Dia berharap, pemerintah daerah maupun DPRD segera berdiskusi dengan warga ini. “Ini bukan sekadar bicara revisi aturan. Ini tentang nyawa warga yang sudah siap bakar diri karena kebijakan pemerintah. Berilah empati kepada mereka,” ucap Muslim.

 

 

 


Warga Pulau Padang Buka Posko di DPRD Riau was first posted on June 25, 2012 at 10:46 am.

Kemenhut Janji Revisi SK RAPP di Pulau Padang Pekan Ini

$
0
0

KEMENTERIAN Kehutanan (Kemenhut)  berjanji dalam pekan ini akan merevisi SK 327 tentang izin hutan tanaman industri (HTI) kepada PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, Hadi Daryanto, Senin(25/6/12) mengatakan, masalah Pulau Padang masih dalam penyelesaian tapal batas. Menteri Kehutanan (Menhut) sudah memutuskan areal-areal yang diklaim oleh tiga desa, yakni, Desa Lukir, Bengkiro, dan Bangan Melipur.

“Itu kita keluarkan dari areal PT RAPP yang tumpang tindih. Sekarang masih di lapangan. Klaim itu harus diukur betulan,” katanya.

Penolakan warga Pulau Padang akan masuknya PT RAPP beralasan karena kekhawatiran alam dan lingkungan mereka rusak. Sebab, sudah begitu banyak hutan Riau hancur karena operasi perusahaan. Contoh, deforestasi di kawasan gambut dalam di hutan Kerumutan ini. Hutan gambut yang dilindungi ini telah dikonversi menjadi perkebunan untuk pulpwood oleh perusahaan yang berafiliasi dengan APRIL, PT Sumatera Riang Lestari, Blok Indragiri. Foto: Eyes On The Forest

Hadi mengatakan, masalah ini sudah dirapatkan dan dalam minggu ini akan keluar revisi. “Tiga desa ini dikeluarkan, SK 327 direvisi, adendum. Setelah diadendum tetapkan tapal batas lagi, supaya ada kepastian bagi investor.”

Menurut Hadi, lahan gambut dalam di bagian tengah pulau tak boleh diganggu alias tak masuk dalam kawasan yang diberikan izin kepada RAPP.  “Yang di luar itu saja. Ring saja.”

Nanti, RAPP wajib membuat ring gambut yang disebut eco-hydro. Dengan ring gambut ini akan membuat permukaan gambut tetap ada airnya. “Itu bisa dibuktikan. Itu ada di Palembang. Ada di Kampar.”

Setelah proses dengan warga selesai, perusahaan akan membuat eco-hydro, baru boleh membangun hutan tanaman industri (HTI).  “Itu juga di tempat yang gundul, bukan membongkar tanaman.”

Jadi, investasi bisa tetap masuk  dengan tak merusak lingkungan. Juga memasukkan unsur sosial. “Jika masyarakat tak mau, akan dikeluarkan. “

Bagi Hadi, pemerintah yang penting mengubah pola produksi dari PT RAPP dengan memasukkan unsur masyarakat.  “Perhatikan. Karena sumber konflik di sini. Juga lingkungan dengan membuat ecohydro. Hingga nanti jangka panjang bisa hidup berdampingan dengan baik,” katanya.

Saluran Mampet

Martua Sirait peneliti dari  International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) mengatakan, kasus Pulau Padang menunjukkan saluran mampet atau saluran yang tak mencerminkan rasa keadilan bagi rakyat.

Mengapa? Sebab, sampai saat ini, pemerintah dalam menangani konflik-konflik lahan, tanah dan lain-lain hanya menggunakan pendekatan adhoc atau kasus per kasus. Seharusnya, pemerintah menyelesaikan konflik-konflik ini melalui kebijakan. “Seperti kasus Pulau Padang ini hanya menggunakan rekomendasi Dewan Kehutanan Nasional yang bersifat adhoc.”

 

 


Kemenhut Janji Revisi SK RAPP di Pulau Padang Pekan Ini was first posted on June 25, 2012 at 2:31 pm.

Sanggau Akomodir Peta Adat Dalam Rencana Tata Ruang

$
0
0

KABUPATEN Sanggau, Kalimantan Barat, sedang menyiapkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang patut menjadi contoh. Pemerintah Daerah (Pemda)  Sanggau menyusun RTRW secara partisipasif dengan memasukkan kawasan pedesaan, sampai hutan adat.

Martua Sirait peneliti dari  International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) mengatakan, penyusunan RTRW ini cukup partisipatif dengan melibatkan masyarakat sipil, seperti masyarakat adat.  Dengan momentum perencanaan RTRW kabupaten ini, disiapkan juga One Map Kabupaten Sanggau.

Pemerintah Kabupaten menghimpun seluruh data perizinan baik itu tambang kebun dan hutan, data alokasi lahan dengan mengacu peta moratorium revisi II, hutan lindung, kawasan bududaya dan lain-lain.  “Juga data-data penguasaan lahan seperti pengukuhan kawasan hutan, hak guna usaha, hak milik, hak adat dan lain-lain,” kata Martua.

 

Grafis konflik yang berkaitan dengan sawit di Indonesia. Penyusunan RTRW partisipasif ini untuk menghindari konflik-konflik yang saat ini kerap terjadi antara masyarakat dan perusahaan.

Peta ini, diharapkan terus dilengkapi dan menjadi peta satu satunya serta acuan bagi perencanaan Kabupaten Sanggau, ke depan.

“Ini patut dicontoh, sebuah langkah maju membuat perencanaan RTRW partisipatif dengan berupaya mengakomodir berbagai data, seperti hutan adat, desa-desa dan lain-lain.”

Menurut dia, gerakan One Map yang dicanangkan pemerintah pusat tidak akan berjalan jika tidak direspons sampai tingkat kabupaten. Tentu,  dalam melengkapi data melibatkan masyarakat sipil. “Ini sangat penting dalam perencanaan tata ruang secara partisipatif.”

Untuk mempersiapkan ini, Pemda Sanggau menyelenggarakan lokarya tehnis. Dari kegiatan ini, telah berhasil dikumpulkan data-data, diidentifikasi apa hambatan tehnis dan non tehnis dalam membangun One Map di Kabupaten Sanggau.

“Juga dikumpulkan 15 wilayah adat, hutan dan kampung yang telah dilakukan pemetaan partisipatif. Ini difasilitasi PPSDAK-Pancur Kasih dan YPSBK. Diharapkan masyarakat diakomodir dalam RTRW Kabupaten Sanggau menjadi kawasan perdesaan,” ujar dia.

Dalam Undang Undang Penataan Ruang No 26 tahun 2007, revisi UU No 24 tahun 1992), telah memberikan ruang bagi wilayah ini masuk sebagai kawasan perdesaan RTRW kabupaten. Begitu juga dalam rencana detail tata ruang (RDTR) wilayah kabupaten.

Hal ini, ucap Martua, ntuk menjawab masalah-masalah seperti pemberdayaan masyarakat perdesaan, antara lain pengembangan lembaga perekonomian perdesaan, termasuk kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan dan kegiatan kehutanan.

Lalu, mempertahankan kualitas lingkungan hidup, konservasi sumber daya alam, pelestarian warisan budaya lokal, mempertahankan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan sampai menjaga keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan.

 

Peta konflik lahan

 


Sanggau Akomodir Peta Adat Dalam Rencana Tata Ruang was first posted on June 27, 2012 at 5:58 am.

Saksi Ahli: Hormati Hak Masyarakat Adat

$
0
0

SIDANG lanjutan pengajuan judicial review Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) terhadap UU Kehutanan No 41 Tahun 1999, Rabu(27/6/12) menghadirkan saksi ahli Dr Maruarar Siahaan.

Maruarar menjelaskan, hak-hak masyarakat hukum adat yang menjadi identitas budaya harus dihormati.  “Karena konstitusi menegaskan pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat dengan hak-hak yang dikenal juga dalam konvensi internasional,” katanya saat bersaksi.

Untuk itu,  hak ini harus dapat ditentukan secara konseptual, lalu dilindungi secara efektif. Menurut dia, pengakuan juridis secara internasional ditemukan dalam Konvensi ILO Nomor 169 tahun 1989 tentang Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries.

Semangat melindungi lemah, hingga kerap kali mereka berhadapan perusahaan. Jadi, perlindungan harus relevan dengan perlindungan masyarakat hukum adat.

Orang Rimba adalah masyarakat adat yang tinggal di hutan dekat Jambi. Mereka satu dari banyak korban perusakan hutan yang masif di wilayah ini dan menimbulkan konflik. Foto: Greenpeace

Kaharuddin T dari komunitas adat Punan Dulau dan Jaelani dari komunitas adat Orang Rimba juga hadir sebagai saksi korban.

Kaharuddin T dari komunitas adat Punan Dulau mengatakan, masyarakat adat Punan memiliki ketergantungan tinggi pada hutan. Ini tergambar dari falsafah,” Lunang telang otah ine. Artinya, hutan adalah air susu ibu, tak ada hutan, matilah orang Punan.

Masyarakat adat Punan Dulau adalah korban dari kebijakan pemindahan penduduk lokal. Mereka dipindahkan pada 1970-an oleh Departemen Sosial. Alasannya, agar masyarakat yang tinggal di pedalaman mendapatkan akses dan fasilitas yang bisa dijangkau program pemerintah.

Namun, kata Kaharuddin, tak semua masyarakat Punan Dulau pindah ke wilayah yang sudah ditentukan pemerintah. Ada 40 keluarga memilih bertahan dan tetap tinggal di wilayah adat yang memiliki hutan luas. “Masih lebat lestari di hulu sungai Magong itu,” katanya.

Tahun 1988, salah satu perusahaan kayu besar bernama PT. Intracawood Manufacturing beroperasi wilayah hutan adat milik orang Punan Dulau. Perusahaan ini mengantongi izin konsesi hak pengelolaan hutan (HPH) seluas 226.326 hektare (ha), berlaku 75 tahun.  Setelah diprotes, Menteri Kehutanan merevisi izin ini menjadi 45 tahun.

“Masyarakat adat Punan Dulau sudah kehilangan sumber kehidupan akibat operasi perusahaan kayu itu. Kini tak ada lagi yang tersisa di hutan. Semua sumber daya hutan habis dibabat. Kini orang Punan Dulau hidup miskin di atas tanah adatnya.” Kaharuddin kepala desa di sana.

Saksi korban kedua dari komunitas adat Orang Rimba. Jaelani, atau akrab disapa Tumenggung Tarib, mengungkapkan, kehidupan komunitas mereka hidup bergantung pada sumber daya hutan.

Orang Rimba adalah komunitas adat yang hidup dari hasil meramu hutan. Mereka tinggal dan hidup di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), Jambi. Sejak ruang hidup mereka dinyatakan sebagai kawasan konservasi, akses Orang Rimba terhadap hutan dibatasi.

“Kami menempati hutan yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun.”

Hingga akhir tahun 2010, paling sedikit ada 50 kelompok kecil Orang Rimbo menyebar di kawasan TNBD. “Bahkan kami terpaksa tinggal di desa-desa sekitar TNBD untuk memulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa,” ucap Temenggung Tarib.

Mereka makin terpinggirkan karena luasan hutan tempat tinggal dan mencari kehidupan makin sedikit.

Bagi Orang Rimbo,  hutan adalah rumah dan sumber kehidupan. Sebagian besar Orang Rimba tinggal di hutan dan menerapkan kearifan lokal dan hukum adat warisan leluhur mereka.


Saksi Ahli: Hormati Hak Masyarakat Adat was first posted on June 28, 2012 at 12:32 pm.

Koalisi NGO: Presiden Harus Selesaikan Kasus Pulau Padang

$
0
0

KOALISI  Pendukung Perjuangan Rakyat Kepulauan Meranti mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera bertindak menyelesaikan kasus kehutanan di Riau terutama di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti.  Presiden harus bergerak cepat untuk mencegah aksi bakar diri 10  warga setempat.

Penangguhan izin terhadap PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) solusi cepat yang bisa diambil pemerintah guna memberi waktu bagi penyelesaian konflik antara perusahaan dengan masyarakat.

Riko Kurniawan, jurubicara koalisi mengatakan, koalisi menilai aksi bakar diri masyarakat tidak patut terjadi. Namun, keputusan bertindak ekstrim ini terjadi akibat frustasi tinggi karena masyarakat telah kehilangan harapan. Sebab, fungsi pemerintah dalam melindungi warga tak berjalan.

“Upaya penyelesaian konflik yang telah dan sedang dilakukan pemerintah selalu mengedepankan kepentingan industri dan memposisikan masyarakat pada ketidakadilan,” katanya, Jumat(29/6/12).

Untuk itu, Presiden harus mengambil-alih tanggung jawab menghentikan keputusan ekstrim dari masyarakat korban konflik kehutanan di Riau dan di sejumlah daerah lain.  “Ini kesempatan baik bagi presiden memulai menata kembali persoalan di Kementerian Kehutanan,” ujar dia.

Warga Pulau Padang yang membentuk Posko Bakar Diri di DPRD Riau. Jika pemerintah cenderung mengakomodir keinginan pengusaha besar, dan masyarakat lokal makin terpinggirkan, konflik antara warga dan perusahaan tak akan pernah usai. Foto: Ahlul Fadli

Konflik masyarakat dengan perusahaan di Pulau Padang, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti dengan PT RAPP (APRIL Grup) terjadi sejak SK Menhut nomor 327 tahun 2009 keluar. SK ini menambah luasan wilayah konsesi RAPP yang sebelumnya sudah diperoleh di Riau, di antara konsesi tambahan ada di hutan gambut Pulau Padang dan Semenanjung Kampar.

Penyimpangan hukum atas terbit SK 327 ini setidaknya ada pada proses kelengkapan administrasi, konfirmasi kawasan, penyusunan Amdal dan pelanggaran terhadap aturan hukum lain.

“Dari pelanggaran proses perizinan ini wajar saja protes dari masyarakat terus terjadi karena ini menyangkut pengambil-alihan hak penguasaan tanah dari generasi mereka.”

Pulau Padang sejatinya masuk kategori pulau kecil dan terbentuk dari kubah gambut yang sangat rentan jika ada aktivitas konversi hutan skala luas. Dengan pola pengelolaan tradisional, berdasarkan pengamatan kasat mata di Pulau Padang menunjukkan penurunan permukaan tanah gambut mencapai satu meter lebih dalam beberapa tahun terakhir.

Selain itu, perkebunan sagu yang menjadi sektor andalan masyarakat Pulau Padang akan terganggu karena konversi hutan gambut dan akan membuat lahan terlalu kering. Kondisi lain diperparah makin tinggi pengikisan tanah di pesisir. Masyarakat lokal juga memiliki ketergantungan tinggi terhadap hutan.

Bukan saja sektor lingkungan dan ekonomi, dampak sosial dari SK 327 ini jauh lebih merugikan. Sejak SK ini diterbitkan, keutuhan sosial masyarakat tidak lagi ada. Penyelesaian konflik secara sepihak dan pro-industri meningkatkan keresahan sosial.

Masyarakat Pulau Padang, mulanya hidup tenang dengan pola pertanian dan perkebunan sagu dan karet mulai terusik ketika RAPP masuk. Perusahaan ini akan mengubah hutan alam seluas 40.000 hektare (ha) dari 110.000 ha luas Pulau Padang untuk tanaman monokultur akasia.

Koalisi Pendukung Perjuangan Rakyat Kepulauan Meranti ini terdiri dari Walhi Riau, Serikat tani Riau, PRD Riau, JMGR, Jikalahari, Greenpeace, Kabut, TII Riau, Scale Up, Rumah Pohon.

Merasa Diabaikan

Sementara, warga Pulau Padang di Posko 10 Nyawa untuk SBY merasa sampai saat ini, pemerintah mengabaikan perjuangan dan tuntutan mereka.

Ridwan Ketua Tani Riau (STR) mengatakan, pemerintah masih saja menjalankan keinginan dan tak mau mendengar suara warga.  “Perjuangan ini untuk menuntut keadilan agar Presiden melakukan evaluasi terhadap SK 327,” katanya, Jumat(29/6/12).

Mereka meminta, pemerintah mengeluarkan seluruh Blok PT RAPP seluas 41.205 hektare dari Pulau Padang. Namun, katanya, saat ini, di Pulau Padang, malah Badan Pemetaan Hutan Kawasan (BPHK) Tanjung Pinang, bersama PT RAPP dan tim terpadu Kabupaten Kepulauan Meranti tetap pemetaan tapal batas.

“Apakah mereka tak mengetahui seakan tak ada masalah.  Hingga mereka tetap membuat tapal batas untuk melanjutkan operasional.” “Senin 2 Juli, kami pasti tetap ke Jakarta.”


Koalisi NGO: Presiden Harus Selesaikan Kasus Pulau Padang was first posted on June 29, 2012 at 7:36 pm.

“Kembalikan Hutan Adat Kami…”

$
0
0

HUTAN masyarakat adat Dayak Punan yang masuk ‘kawasan’ PT Intracawood di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur (Kaltim) seluas 23.139 hektare (ha). PT Intracawood, sudah menggarap dan mengambil kayu diperkirakan 15 ribu ha.

Kini, masyarakat adat harap-harap cemas. Perusahaan mau masuk lagi dan menggarap hutan yang masih tersisa. Masyarakat Punan tidak mau.

“Masyarakat adat tak mau. Kembalikan hutan adat kami. Kembalikan tanah adat kami. Semua. Yang sudah digarap maupun yang belum,” kata Anggota Komunitas Adat Dayak Punan, Kaharuddin kepada Mongabay, akhir Juni 2012.

Kaharuddin juga kepala Desa Punan Dalau. Dia mengatakan, masyarakat ingin lahan dan hutan mereka kembali. “Tolonglah pemerintah, perhatikan kami. Kami perlu bantuan…”

Warga sudah seringkali berusaha berkomunikasi dengan perusahaan, tetapi upaya itu seakan tak dihiraukan pihak bermodal besar ini. “Mereka menyalahkan pemerintah desa. Mereka anggap pemerintah tak bisa fasilitasi masyarakat.”

Konflik masyarakat dan perusahaan makin tajam. Banyak hak pengelolaan hutan perusahaan berada tumpang tindih dengan milik masyarakat lokal maupun masyarakat adat. Kala masyarakat dan perusahaan berhadapan, rakyat kerap kalah dan terpinggirkan. Foto: Rhett Butler

Menurut Kaharuddin, Maret lalu telah melaporkan sengketa lahan adat ini ke pemda provinsi. Lagi-lagi belum ada hasil.

“Juni ini kami didatangi Dinas Kehutanan Kabupaten Bulungan. Katanya mereka mau datang ke Bunan Dulau dan Ujang. Karena sudah diberitahu. Jadi ditunggu. Namun kedatangan mereka tak memuaskan.”

Mengapa? “Karena sepertinya mereka cenderung membela perusahaan. Kedatangan bukan duduk sebagai pemerintah. Mereka datangi dulu ke Tarakan, kantor perusahaan. Setelah dari Tarakan, mereka menginap juga di camp perusahaan. Besar kecurigaan masyarakat itu, karena tidak menginap di penginapan desa,” cerita Kaharuddin.

Bahkan, saat turun ke lapangan—menggunakan mobil dari perusahaan–, ketika warga berniat mengajak utusan Dinas Kehutanan ke lahan yang bersengketa, sopir berdalih mobil rusak.

“Padahal di KM 45 itu yang bermasalah dengan masyarakat adat.” Karena tak mau ke KM 45, Kaharuddin, menawar agar bisa ke KM 41. Lalu ke sana.

“Tidak lama di sana, lima menit. Bahasa dari dinas, bilang hanya meninjau. Nanti ditunggu hasil bupati yang beri kebijakan. Setelah itu tak ada cerita lagi sampai sekarang.”

Untuk itu, Kaharuddin dan masyarakat adat menuntut Pemerintah Kabupaten Bulungan agar menindaklanjuti kasus konflik lahan ini.

Menurut dia, masyarakat bersedia berembuk, bahkan meminta pemerintah mengajak perusahaan duduk bersama. “Karena kalau kita yang meminta ke perusahaan, perusahaan selalu meminta warga yang harus kalah.”

PT.Intracawood Manufacturing (Intraca) merupakan bagian dari Central Cipta Murdaya Grup(CCM). Tiga pemegang saham mayoritas intraca yaitu PT. Inhutani I (24%) PT.Altrac 78(49.5%) dan PT.Berca Indonesia (24.7%). PT Altrac dan Berca adalah milik CCM grup.

PT. Intracawood didirikan sebagai bisnis patungan dengan PT Inhutani I. Kegiatan mereka mengelola kawasan hak pengusahaan hutan (HPH) seluas 226.326 ha. Perusahaan menggunakan tebang pilih dalam memasok log mentah ke industri kayu lapis Intraca di Tarakan.

Intracawood mendapat subkontraktor hak konsesi dari PT Inhutani I tahun 1988 dengan mengantongi izin jangka panjang selama 75 tahun. Setelah operasional dipertanyakan Menteri Kehutanan.

Lalu, tahun 2003 Menteri Kehutanan mengizinkan kembali beroperasi dengan izin baru selama 45tahun berdasarkan SK No. 335/Menhut-II/2004 tgl 31 agustus 2004, luas konsesi 195.110 ha. Konsesi ini meliputi tiga kabupaten, Bulungan, Berau dan Malinau.

Untuk kecamatan Sekatak konsesi PT Intacawood mencakup 23 kampung dihuni warga Dayak Tidung, Punan dan Belusu.

Menurut hasil laporan hasil tim penelitian SmartWood tahun 2006, pertengahan tahun 2002 – hingga pertengahan 2003, penyelesaian konflik dengan masyarakat setempat dengan mengeluarkan 30.000 ha berdasarkan klaim masyarakat.

Pada 25 januari 2003, ditandatanngani nota kesepakatan untuk mengembangkan penelitian hutan hujan dan program training antara PT Intracawood Manufacturing, Innoprise Corporation Sdn.Bhd, Sabah, Malaysia dan Royal Society Southeeast Asia Rainforest Research Programme, Inggris.

Atas izin pemerintah Indonesia dan Bupati Bulungan dipilih kawasan hutan primer Intracawood seluas 26,257 ha terletak dekat dengan kawasan konsesi untuk training dan ekoturisme.

Pada 2004 dalam SK hak pengusahaan hutan (HPH) ditandatangani Menteri Kehutanan disebutkan ekplisit perpaduan HCVF dalam pengelolaan hutan produksi.

Namun nota kesepahaman Royal Society Southeast Asia Rainforest Research Programme ditunda. Lembaga ini menunda bekerja sama dengan perusahaan yang tidak bersertifikat akibat dari tekanan Forest People Programme.

Margaretha Seting Beraan, pimpinan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim, mengatakan, kenyataan, kawasan yang ditetapkan oleh PT Intraca sebagai kawasan konservasi itu bukan hutan primer. Namun, kawasan pemukiman dan wilayah jelajah warga Dayak Punan dan Belusu.

Penetapan kawasan itu, tanpa persetujuan dan komunikasi dengan warga pemilik kawasan. PT Intracawood mengabaikan prinsip-prinsip Free, prior and informed consent (FPIC) yang menjadi dasar penetapan kawasan HCVF ini.

Malah, masyarakat dilarang berburu, berladang dan merambah kawasan mereka sendiri. Pada tahun 2011 didirikan pos-pos penjagaan dalam kawasan itu untuk mengontrol keluar masuk warga.

Selama operasi dari 1988, beberapa persengketaan tenjadi antar masyarakat dengan perusahaan. Diakhiri perjanjian-perjanjian yang kebanyakan diingkari perusahaan.

Warga Punan dan Belusu merasa dibatasi di atas tanah sendiri. Pada 13 Maret lalu, dalam pertemuan dengan komisi II DPRD Kaltim, warga Punan dan Belusu menyampaikan beberapa tuntutan.

Pertama, pemerintah mencabut izin HPH PT Itracawood. Kedua, meminta pemerintah mengeluarkan kawasan masyarakat dari wilayah HCVF yang didirikan diatas tanah kas desa dan kawasan rambah masyarakat Punan dan Belusu di Kecamatan Sekatak.

Ketiga, pemerintah dan DPRD membentuk pansus penyelesaian agraria khusus dalam yang terjadi di wilayah masyarakat adat di Kaltim.

Permintaan masyarakat ini seakan berhembus bersama angin alias belum ada tindaklanjut yang berarti.

Saat ini, kata Kaharuddin, malah banyak warga terkena tuduhan illegal logging. “Mereka dianggap bersalah mengambil kayu di tempat yang biasa sejak dulu.”

Sekitar 17 warga dipolisikan, bahkan ada yang dipenjara dua kali. “Ini baru orang, belum kerugian seperti mesin yang dilenyapkan. Mesin katanya jadi barang bukti. Kasian kondisi masyarakat.”

“Tolong. Mohon pada pemerintah, nasib masyarakat adat Kecamatan Sekatak. Mereka jadi korban.”


“Kembalikan Hutan Adat Kami…” was first posted on July 1, 2012 at 8:36 pm.

Minta Pemerintah Sikapi Serius Kasus Pulau Padang

$
0
0

MASYARAKAT Riau yang tergabung dalam Koalisi Pendukung Perjuangan Rakyat Kabupaten Kepulauan Meranti membuat surat terbuka kepada Presiden RI, Menteri Kehutanan, Gubernur Riau dan Bupati Kepulauan Meranti.

“Kami masyarakat Riau tidak berposisi membenarkan aksi bakar diri yang dilakukan masyarakat Padang, tetapi kami masyarakat Riau bertanggungjawab  mengingatkan dan mendesak Presiden RI, Menteri Kehutanan, Gubernur Riau dan Bupati Meranti untuk segera bersikap,” bunyi surat terbuka itu, Senin(2/7/12).

Masyarakat Riau ini meminta para pemimpin negeri segera memperpanjang penghentian operasional PT RAPP di Pulau Padang. Mereka juga meminta, pemerintah merevisi SK 327 tahun 2009 dengan mengeluarkan seluruh blok PT RAPP seluas 41.205 hektare (ha) dari Pulau Padang.

“Hanya dengan Solusi yang diberikan pemerintah inilah yang dapat menyelamatkan tujuh  nyawa masyarakat Pulau Padang untuk tidak aksi bakar diri.”

Presiden, Menteri Kehutanan, Gubernur Riau dan Bupati Meranti, harus melihat persoalan Pulau Padang secara seksama. “Dan segera mengambil sikap dalam tempo sesingkat-singkatnya.”

Pertemuan LAM, MUI dan perwakilan warga relawan bakar diri, Sabtu(30/6/12). Foto: Ahlul Fadli

Sementara itu, pada Sabtu (30/6) bertempat di kantor Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, lima perwakilan dari warga Pulau Padang diundang membahas permasalahan mereka bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Riau.

Ketua LAM Riau, Al Azhar membuka pertemuan dan langsung meminta M Ridwan, ketua Serikat Tani Riau (STR) menyampaikan permasalahan Pulau Padang.

Ridwan mengatakan, minimal SK 327 yang berisi izin HTI kepada PT RAPP dievaluasi. “Apakah ada kesalahan prosedural atau tidak,” katanya seperti dilaporkan Ahlul Fadli dari Bahana Mahasiswa.

Ketua Majelis Kerapatan Adat (MKA) Tenas Effendi menyatakan, sering menangis ketika mendengar permasalahan yang dihadapi warga berhubungan dengan hutan dan tanah. “Permasalahan ini jauh sebelum kasus Pulau Padang sudah terjadi,” katanya.

“Untuk permasalahan Pulau Padang kami dari LAM dan MUI akan berdiskusi untuk menentukan sikap kami terhadap masalah ini. Masalah ini perlu waktu untuk mencari solusi tepat. Kkami mohon kepada ananda (warga Pulau Padang) untuk bersabar dulu.”

Pada Senin(2/7/12), tiga lembaga mengadakan pertemuan dengan warga relawan bakar diri. Merka berjanji memfasilitasi warga Pulau Padang agar ada penyelesaian masalah. Tiga lembaga itu adalah Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Riau dan Forum Komunikasi Masyarakat Riau.

“Kami menghargai tiga lembaga yang telah memberikan masukan sekaligus gambaran tahapan langkah penyelesaian masalah ini,” kata Ridwan. Namun, jika tetap tak ada perkembangan hingga Selasa(3/7/12), mereka akan tetap berangkat ke Jakarta.

Mabes Polri meminta agar relawan bakar diri membatalkan niat mereka. Menurut Ridwan, aksi mereka itu terpaksa dilakukan, bukan provokatif.

Sebab, penyampaian aspirasi secara persuasif, elegan, sopan, santun sampai tertulis baik langsung maupun melalui media tak mendapat respon baik dari pemerintah.

“Hampir empat tahun kami lakukan ke seluruh instansi. Dari mulai rukun tetangga sampai ke istana negara.” Namun, yang mereka dapatkan hanya pelanggaran kesepakatan oleh Kementerian Kehutanan.

“Pengaduan kami secara resmi kepada Presiden  atas sikap Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, cenderung tak digubris.”

Menurut Ridwan, mereka bisa menghentikan aksi jika mereka diterima oleh Presiden atau pihak lain yang sepakat menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat.

Aksi warga Pulau Padang yang menjadi relawan bakar diri menuntut perhatian pemerintah agar segera merevisi pemberian izin pada PT RAPP beroperasi di Pulau Padang. Foto: Ahlul Fadli

Aksi Mahasiswa

Puluhan mahasiswa tergabung dalam Front Penolakan Aksi Bakar Diri (F-PABD) beunjuk rasa di depan kantor Gubernur Riau, Kamis (28/6/12). Mereka menuntut pemerintah tanggap akan aksi masyarakat Pulau Padang kali ini. Mereka megecam pemerintah sangat lalai.

“Sejak SK 327/Menhut-II/2009 lahir masyarakat Pulau Padang sampai saat ini terus menerus melakukan penolakan PT RAPP. Mulai dari skala lokal, kabupaten, provinsi hingga pergerakan nasional,” kata koordinator lapangan, Wahyu Kurniawan, seperti dikutip dari Gurindam21.

Namun, ucap Wahyu, selama tiga tahun pergerakan masyarakat Pulau Padang, tak mendapat tanggapan apapun dari pemerintah.

Wahyu mengimbau pemerintah harus tanggap dan mendengarkan keluhan masyarakat Pulau Padang. “Dan mengabulkan keinginan masyarakat mencabut SK Menhut 327/2009.”


Minta Pemerintah Sikapi Serius Kasus Pulau Padang was first posted on July 2, 2012 at 6:59 pm.

Proyek REDD+ Kalteng Banyak Langgar Hak Masyarakat Adat

$
0
0

HAK-hak masyarakat lokal maupun masyarakat adat kerap terabaikan dalam pelaksanaan proyek Demonstration Activities–Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (DA-REDD+) di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Misradi, warga Sei Ahas, Mantangai, Kapuas, Kalteng, mengatakan, di lapangan norma hak-hak Free Prior Inform Consent (FPIC) alias persetujuan bebas tanpa paksaan, kerap diabaikan. “Atau dilaksanakan dengan penafsiran sempit, baik itu hak mendapatkan informasi memadai, hak mengambil keputusan secara bebas, dan hak berpartisipasi penuh dalam proyek,” katanya. Misradi mengungkapkan ini dalam workshop membangun dan memperkuat inisiatif masyarakat dalam penurunan emisi gas rumah kaca pada 7 Juli.

Tindakan ini, katanya, melanggar serangkaian kebebasan dasar yang diakui dalam hukum hak asasi manusia nasional dan internasional. Termasuk hak berpendapat, hak atas informasi, hak berkumpul secara damai, dan hak berorganisasi. “Juga hak setara di depan hukum dan peradilan yang adil.”

Aksi Petak Danum dalam kampanye iklim. Foto: Teguh Surya

Misradi mengungkapkan, hak-hak mencari, mendapatkan dan menyebar informasi, di wilayah kerja Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP) di tujuh desa, lima dusun, dua dukuh, seluas 120 ribu ribu hektare, banyak dilanggar. “Korban kebanyakan kaum perempuan,” ujar dia.

Mereka tak pernah mendapat informasi memadai terkait proyek DA-REDD atau REDD+. “Bagaimana pelaksanaan dan siapa pelaksana REDD+, lalu akibat-akibat negatif yang akan diterima serta keuntungan yang akan didapat? Mereka tak tahu.”

Alhasil, pelibatan masyarakat dalam mengambil keputusan dan persetujuan secara bebas tanpa paksaan, dalam proyek pembanguan dan investasi, sering dilanggar. Kondisi ini sudah berjalan sejak orde baru.

Kala orde baru pernah ada proyek pengembangan lahan gambut sejuta hektare. “Ini juga tak melibatkan masyarakat.” Di Sei Ahas, kata Misradi, sebagian besar masyarakat tak pernah diajak konsultasi pemerintah pusat maupun daerah terkait rencana penetapan wilayah proyek DA-REDD. “Apalagi dimintai persetujuan.”

Masyarakat, baru mengetahui wilayah mereka jadi kawasan DA-REDD setelah para pegawai KFCP sosialisasi program pertengahan 2010. Hingga kini, meski sebagian warga dilibatkan penanaman pohon, namun mereka masih khawatir status kepemilikan tanah dan akses terhadap tanah dan hutan.

DA-REDD di Kalteng merupakan proyek kerja sama antara Indonesia-Australia untuk perubahan iklim atau Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Kevin Rudd, perdana menteri Australia menandatangani perjanjian ini, pada 13 Juni 2008.

Australia mengucurkan $40 juta Australia. Komposisinya, $10 juta Australia untuk persiapan REDD dan $30 juta Australia untuk pengembangan pilot project di Kapuas melalui KFCP. Ada dua misi dalam proyek ini. Pertama, menyusun model pendanaan menggunakan pendekatan berbasis inisiatif pasar carbon. Kedua, merumuskan rencana langkah-langkah pelaksanaan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Kebijakan pemerintah Australia, proyek ini harus menaati kewajiban-kewajiban HAM internasional, termasuk deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP). Dilaporkan Basri H.D, dari Penggiat Yayasan Petak Danum


Proyek REDD+ Kalteng Banyak Langgar Hak Masyarakat Adat was first posted on July 9, 2012 at 1:22 pm.

Greenpeace : 300 Ribu Hektare Hutan Papua Rusak Tiap Tahun

$
0
0

GREENPEACE mencatat tiap tahun, hutan dirusak sekitar 300 ribu hektare baik di Papua maupun Papua Barat. Mayoritas perusak perusahaan,  antara lain, mega proyek Merauke Integrated Food dan Energy Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke dan PTPN II sawit di Kabupaten Keerom, Distrik Arso.

Charles Imbir, Koordinator Greenpeace di Papua mengatakan, empat tahun terakhir Greenpeace mencatat perusakan hutan seluas 300 ribu hektare. “Perusakan 300 ribu hektare hutan itu di seluruh Papua tiap tahun,” katanya di Jayapura, Sabtu(4/8/12).  Perusakan ini, karena  usaha sektor kehutanan, seperti perusahaan sawit dan perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH).

MIFEE banyak merusak hutan dan menyengsarakan warga pemilik lahan. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah dan Perizinan (BKPMDP) Kabupaten Merauke, 32 perusahaan telah mendapat izin prinsip bergerak pada beberapa sektor.

[singlepic id=40 w=600 h=400 float=center]

Kerusakaan hutan dan lingkungan ini dipamerkan Greenpeace dalam festival budaya Teluk Humbold Port Numbay ke IV, Sabtu dan Minggu (4 -5/8/12) di Pantai Hamadi, Jayapura.

Greenpeace memamerkan  antara lain, perusahaan merusak hutan, penebagan pohon ilegal serta pengelolaan alam yang tak memihak rakyat.  “Kami sengaja pajang gambar-gambar kerusakaan hutan dan lingkungan. Biarlah masyarakat menilai,” kata Dian Wasaraka dari Greenpeace.

MIFEE dan PTPN II

Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kampung Kaiburse, Kabupaten Merauke, Papua, Paulus Samkakai mengaku, masyarakat adat Kampung Kaiburse salah satu tempat MIFEE beroperasi, ditekan dengan berbagai macam kebijakan dari pemerintah setempat tentang investor. Berbagai kebijakan itu ada sejak masuk MIFEE.

Perusahaan sawit juga banyak membabat hutan dan tak memperhatikan hak rakyat. Pada Maret 2012, masyarakat adat Kampung Keerom menyegel pabrik PTPN II di kawasan itu. Pemalangan dipicu penggunahan lahan sawit lebih dari kesepakatan awal. PTPN II juga tak melunasi pembayaran tanah.

Ketua Dewan Adat  Papua (DAP) Keerom, Servo Tuamis menjelaskan, lahan sawit di Arso yang sementara digarap perusahaan sawit 50.000 hektare lebih. Sesuai kesepakatan sebelumnya, tanah yang dilepaskan pemerintah atas persetujuan masyarakat tak seluas itu.

Tuntutan masyarakat mengacu pada kesepakatan 19 Oktober 1982, Pemerintah Kabupaten Jayapura, saat itu pejabat Bupati, Bas Youwe meminta 5.000 hektare dikelola sebagai lahan sawit.  Namun, perusahaan sawit mengelola  50.000 hektare lebih dan tak dibayar.  “Ini yang menjadi masalah sampai saat ini.”

Petrus Korowa, Kepala Bagian Pertanahan Papua, mengatakan, masalah sawit di Arso, sudah mengundang PTPN II dan pihak terkait. Namun, tak satupun pejabat yang datang.

Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Keerom Joko Susilo, mengungkapkan, tujuh tahun terakhir produksi sawit di PTPN II Arso makin menurun. Perusahaan sudah tak lagi membabat hutan.  Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Jayapura, Yosias N. Fonataba mengatakan, hingga kini kurang lebih 367 perusahaan mendaftar dengan tenaga kerja lebih 678 orang.  Ratusan perusahaan juga masuk ilegal.

 

Hutan Papua yang dibabat untuk perkebunan sawit. Foto Greenpeace

 


Greenpeace : 300 Ribu Hektare Hutan Papua Rusak Tiap Tahun was first posted on August 5, 2012 at 1:49 am.

WWF Bertemu SBY: Minta Pemerintah Siapkan Lahan Sawit Bersih Konflik

$
0
0

Delegasi WWF dipimpin Executive Board WWF Indonesia Kemal Stamboel, didampingi Direktur Jenderal WWF Internasional, Jim Leape Kamis(13/9/12) melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, di Istana Negara, Jakarta.

“WWF menyadari peran Indonesia sebagai negara kunci dalam mendorong agenda pembangunan berkelanjutan pasca Rio+20. Jaringan WWF Network di seluruh dunia siap membantu menjalankan peran ini, termasuk mendukung inisiatif konservasi lintas negara seperti Heart of Borneo dan the Coral Triangle yang dicanangkan SBY,” kata Leape dalam rilis kepada media.

Kedua inisiatif ini, menterjemahkan konsep ekonomi hijau bagi kesejahteraan masyarakat dan kesetaraan sosial, sekaligus memperkuat ketahanan pangan di kawasan itu. Dalam pengembangan kebun sawit di Indonesia, kata Leape, harus diarahkan ke lahan telantar. Pemerintah, hendaknya dapat memfasilitasi proses ini hingga lahan telantar yang ‘ bersih’ konflik sosial dan siap pakai tersedia.

Pengembangan kebun sawit menyisakan banyak konflik. WWF meminta pemerintah bisa membantu menyiapkan lahan sawit bersih konflik. Foto: Sapariah Saturi

Kunjungan ini juga dihadiri para CEO WWF dari beberapa negara yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Fillipina, India, Pakistan, Mexico dan Russia, dan Direktur WWF Asia Pacific.

Dalam pertemuan ini SBY didampingi Menteri Luar Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Sekretaris Negara, dan Ketua UKP4.

Ini tak hanya kunjungan kehormatan perayaan 50 tahun WWF di Indonesia. Pertemuan ini, juga memberi masukan dalam memperkuat peranan Presiden SBY memimpin pertemuan High Level Panel of Eminent Person for Post Rio+ 20 pertengahan September ini di New York.

Sekjen PBB Ban Ki-Moon menunjuk SBY menjadi co-chair High Level Panel of Eminent Person for Post Rio+ 20. Ini sebuah pertemuan tingkat tinggi menindaklanjuti hasil Konferensi PBB tentang pembangunan berkelanjutan di Rio de Jeneiro (Rio+20) Juni lalu.

Dari seluruh dunia hanya tiga pimpinan negara diundang menjadi bagian dalam pertemuan PBB ini, yaitu Perdana Menteri Inggris David Cameron, Presiden Liberia Johnson-Sirleaf, dan Presiden SBY.

Efransjah CEO WWF Indonesia mengatakan, WWF mendukung upaya pemerintah Indonesia mengimplementasikan konsep ekonomi hijau. “Hingga upaya mendorong pertumbuhan ekonomi berjalan seimbang dengan prinsip keberlanjutan dan kesetaraan.” Hingga pembangunan yang dirumuskan mencakup, sosial, dan lingkungan.

Menurut Efransjah, peranan negara-negara dengan ekonomi yang terus meningkat (emerging economies) dari Selatan (biasa disebut sebagai BRIIC+ (Brazil, Russia, India, Indonesia) dan South Africa, banyak disoroti WWF. Bukan hanya karena potensi signifikan bagi kesejahteraan dan kesetaraan, tetapi risiko bagi kehancuran sumber daya alam.

Konflik perusahaan sawit dan warga Desa Seruat II, Kabupaten Kubu Raya


WWF Bertemu SBY: Minta Pemerintah Siapkan Lahan Sawit Bersih Konflik was first posted on September 13, 2012 at 8:05 pm.

Dicaplok Perusahaan Sawit, Petani Buol ke Jakarta Tuntut Pengembalian Lahan

$
0
0

PERWAKILAN masyarakat Buol, Sulawesi Tengah (Sulteng) datang ke Jakarta, untuk menagih janji. Mereka menuntut kepastian pengembalian lahan masyarakat setelah hampir 20 tahun dikuasai perusahaan sawit milik pebisnis papan atas di Indonesia, Sri Hartati Murdaya: PT Hardaya Inti Plantations (PT HIP). Kini, sang big boss mendekam dalam tahanan KPK karena menjadi tersangka kasus suap izin perluasan kebun sawit di kabupaten yang sama.

Sudarmin Paliba, Direktur Eksekutif Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wanalestari, Buol, Sulteng mengatakan, sejak 1993 terjadi perampasan tanah-tanah rakyat, baik tanah adat maupuan kebun-kebun aktif menggunakan tangan militer.

“Lahir perlawanan-perlawanan. Awalnya masih individu,” katanya di Jakarta kepada Mongabay, Senin(15/10/12).

Menurut dia, kepemilikan lahan dari awal diperoleh dengan cara-cara curang, intimidasi dan kekerasan. Pada 1993, PT HIP banyak melanggar dan menggusur kebun produktif warga di Kecamatan Bokat dan Momunu—saat ini dimekarkan menjadi tiga kecamatan: Momunu, Tiloan dan Bukal.

“Kala itu, lahan warga direbut paksa, diturunkan alat berat dikawal ABRI. Ini untuk mematahkan perlawanan rakyat,” kata Sudarmin. Kebun produktif berisi kakao, kelapa, durian, padi, sagu, kopi, mangga, langsat dan lain-lain, dilibas terganti sawit.

Kebun sawit skala besar kerap mencaplok lahan milik warga atau masyarakat adat. Foto: Sapariah Saturi

Banyak warga menjadi korban kekerasan pada 1993. Kadir Jaapar, warga Desa Panimbul, Kecamatan Momunu, menjadi salah satu korban. Kayu balak untuk persiapan membuat rumah sebanyak lima meter kubik, papan dua meter kubik dan baloti 1,5 meter kubik disita perusahaan melalui oknum TNI. “Setelah itu, rumahnya dibakar dan lahan digusur.

Begitu pula yang menimpa Radoman Sanggul. Semua padi di sawah yang tengah menguning digusur perusahaan tanpa kesempatan dia memanen. Pondok Datu Kuntuamas, ditembaki. “Dia lari karena dengar ada tembakan. Rumah dan padi pun dibakar.”

Korban lain, Jaapar Said, berusaha melawan dan bertahan saat perusahaan akan menggusur kebun kopi, kakao, durian, nangka dan lain-lain. Hasilnya, dia ditangkap polisi dan dimasukkan tahanan selama tiga hari tanpa kejelasan tindakan pidana apa yang dilakukan.

“Masih banyak korban-korban lain. Devisi I dan II PT HIP adalah kebun masyarakat Desa Unone, Potangoan dan Mopu, habis digusur perusahaan dibekingi militer.”

Perlawanan warga terus terjadi. Pada 2000, masyarakat mulai mengorganisasi diri dalam Forum Petani Buol. “Ini menghasilkan kesepakatan, bahwa perusahaan akan mengembalikan tanah rakyat.”

Pada 24 Mei 2000, disepakati melalui surat perjanjian pembagian lahan yang ditandatangani perwakilan perusahaan dan petani serta dihadiri saksi-saksi termasuk Pemerintah Kabupaten Buol.

Dalam surat itu, menyebutkan, sesuai keinginan masyarakat Unone, yang tergabung dalam Forum Petani Buol, untuk lahan Devisi I dan devisi II, dibagi dua. Lalu, devisi III, untuk Kecamatan Momunu. Dari jembatan devisi I terus ke jembatan devisi II. Kemudian wilayah devisi II sampai devisi III, sebelah kanan Cakar Langit tidak boleh dikerjakan atau pengembalian hak kepada Forum Tani.

Setelah itu, beberapa kali ada pertemuan, terjadi kesepakatan, bersama antara warga dan perusahaan seperti  21 Juni 2000. Dalam kesepakatan yang disaksikan Bupati Buol, ketua dan anggota DPRD menyebutkan, warga Buol bersedia menjadi mitra dalam bentuk plasma 400 hektar, sebagai tahap pertama yang dimulai Juli 2000. Perusahaan, bersedia menerima warga sebagai petani plasma, diutamakan 191 orang yang diberi ganti rugi PT HIP. Disepakati pula, tahap selanjutnya program plasma diteruskan sampai 15 ribu hektar di areal disediakan pemda atau BPN.  “Sayangnya, setelah 12 tahun menanti, tidak ada realisasi.”

Masyarakat pun terus menuntut hak dan didampingi LBH Sulteng. Pada 30 September 2012, masyarakat korban perampasan tanah kembali berkumpul dihadiri lebih dari 2000 orang. “Mereka meminta yang hadir untuk negosiasi ke Jakarta, sambil mencari lembaga yang pro rakyat.”

Bersama Sudarmin, ada Abdul Karim Mokodompit, Ketua Umum Lembaga Komunikasi Rakyat Kecil Kabupaten Buol Bersatu (LKRKBB), dan Abdullah Rahman sebagai Sekretaris Umum LKRKBB. Lalu, Abdullah Rahman selaku Penasehat Serikat Pekerja Perkebunan Sawit PT HIP, dan tiga petani Buol, Yahya Mokoapat, Abdul Kadir JB, serta Rahman Yunus.

Pada, 15 Oktober 2012, ribuan warga kembali turun dan memblokir jalan masuk ke kebun perusahaan. Warga akan bertahan sampai ada kejelasan pengembalian lahan yang sudah digarap perusahaan sejak lama.

“Jadi kami datang untuk memberitahukan dan menagih janji kepada perusahaan. Saatnya, masyarakat ambil tanah yang selama ini diingkari janji oleh perusahaan,” kata Abdullah Rahman, Penasehat Serikat Pekerja Perkebunan Sawit PT HIP.  “Itulah alasan mengapa kami bertujuh ini ada di Jakarta,” ucap Sudarmin.

Di Jakarta, perwakilan petani sudah bertemu Komnas HAM meminta dukungan. Dalam pertemuan itu, Komnas HAM, berjanji investigasi ke lapangan. “Dalam waktu dekat akan panggil manajemen perusahaan. Upaya mediasi dan pengawasan.”  Komas HAM juga mengirim surat kepada Polres Buol, agar tidak melakukan kekerasan kepada warga yang aksi.

“Setelah dari Komnas, kami lalu ke perusahaan. Hanya tidak ada direksi yang menemui dan akan pergi lagi,” kata Sudarmin.

Perusahaan ini,  tak hanya merampas tanah warga, juga alih fungsi lahan di beberapa wilayah eks transmigrasi dan areal pengembangan lain (APL). Masyarakat eks transmigrasi Desa Panilan Jaya (SP I) dan Desa Jatimulya (SP II), Kecamatan Tilon, seluas 2.067, 12 hektar meminta perusahaan segera mengembalikan lahan. Begitupula eks transmigrasi Desa Kokobuka, Kecamatan Tiloan, seluas 734, 97 hektar. “Warga minta dikembalikan setelah dikuasai sejak 1995.”

Pada 1993, PT HIP, anak perusahaan Central Cipta Murdaya (VVM) mulai berinvestasi di Kecamatan Momunu, Bokat, Kabupaten Buol Toli-toli, Sulteng. Legalitas perusahaan perkebunan sawit ini keluar tahun 1995. Pada 1998, mereka memperoleh sertifikat hak guna usaha (HGU) lahan seluas 22.780 hektar.

 

 


Dicaplok Perusahaan Sawit, Petani Buol ke Jakarta Tuntut Pengembalian Lahan was first posted on October 16, 2012 at 5:28 pm.

Praktik Uang dan Intervensi Politik Langgengkan Bisnis Sawit di Buol

$
0
0

PERUSAHAAN sawit milik pebisnis kakap dan mantan anggota penasehat Partai Demokrat,  Hartati Murdaya: PT Hardaya Inti Plantations (PT HIP) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah (Sulteng) beberapa kali ingkar janji dengan masyarakat. Padahal, kesepakatan tertulis sudah dibuat, bahkan bersama pemerintah daerah. Anehnya, tak ada upaya pemerintah daerah dan penegak hukum ‘memaksa’ perusahaan memenuhi perjanjian terhadap warga. Keadaan ini diduga kuat karena ada praktik uang dan intervensi politik.

Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Besar Walhi Nasional mengatakan, dalam kasus suap yang melilit Hartati Murdaya, big boss perusahaan sawit ini, mengaku diperas Bupati Buol. Jika dikaitkan dengan pengakuan perwakilan masyarakat Buol, ada kemungkinan permainan uang memang dirancang perusahaan. “Ini untuk menutupi kejahatan mereka terhadap warga dalam merebut lahan perkebunan yang kini dikuasai perusahaan,” katanya di Jakarta, Rabu(17/10/12).

PT. HIP,  telah menipu pemerintah dan rakyat dengan mengingkari perjanjian tertulis antara perusahaan dengan warga buol. Juga antara perusahaan dengan pemerintah dan warga.

Dalam kaitan menagih janji ke Jakarta, Moh Nuzul, dari LBH Sulteng mengatakan, perwakilan warga Buol, telah bertemu manajemen perusahaan. Dengan perdebatan alot, pertemuan itu dibuat berita acara yang ditandatangani warga dan perusahaan.

Berita acara pertemuan perwakilan warga Buol dan manajemen PT HIP di Jakarta. Foto: Walhi

Meskipun ada berita acara itu, Zul tak terlalu yakin, mengingat beberapa kali perjanjian telah diingkari perusahaan.  Kesepakatan yang diperoleh Selasa(16/10/17), belum pada tingkatan persetujuan perusahaan menyerahkan lahan pada petani. “Kesepakatan untuk penyerahan langsung tanah tidak ada.”

Untuk itu, LBH Sulteng, bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tengah membuat kerangka acuan analisis posisi pasca kesepakatan terbaru ini.

Selain itu, mereka mengusulkan penyidikan korupsi oleh KPK, mulai diarahkan ke sumber pembiayaan perusahaan. Sebab, kasus suap yang dibidik KPK baru bagian sangat kecil dari uang yang dipakai perusahaan ketika membuka perkebunan di Buol. “Besok rencana mau ke KPK, hubungan dengan beberapa kasus di situ, seperti perluasan hak guna usaha. Lalu ke Komnas HAM terkait pelanggaran HAM,” ucap Zul.

Polisi, juga diminta jangan hanya mempopulerkan diri dengan memboncengi penegakan hukum KPK. Namun,  harus bisa mempergunakan kelebihan kewenangan pada penyidikan korupsi lain dan UU lain yang merugikan rakyat dan negara. “Seperti pelanggaran UU Perkebunan dan UU Lingkungan Hidup serta pidana murni dalam operasi perkebunan.”


Praktik Uang dan Intervensi Politik Langgengkan Bisnis Sawit di Buol was first posted on October 17, 2012 at 4:58 pm.

Ratusan Hektar Lahan Petani Dicaplok jadi Kebun Sawit di Banggai

$
0
0

Saya bangga melihat kawan-kawan tidak menyerah, menghadapi kekuasaan perkebunan kelapa sawit PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) milik Murad Husain bersama isterinya, Ny. Silvia  Maindo, anak mereka, Rahmawati Husain, dan seorang perempuan, Jamalia Ningsih. Soalnya, perusahaan ini melakukan ekspansi secara ilegal, tanpa izin Dirjen Perkebunan, sebagaimana diharuskan oleh UU No. 18 Tahun 2004. Luas izin HGU yang diberikan kepada PT KLS sudah cukup luas, yakni 6010 hektar. Namun melalui perusahaan kongsinya dengan Perhutani I, PT Berkat Hutan Pusaka (BHP), PT KLS menguasai  HTI seluas 13 ribu hektar,  lebih dari dua kali lipat izin HGU mereka semula…”  Demikian kutipan surat George Junus Aditjondro, sosiolog terkemuka, sebagai dukungan bagi petani di Sulawesi Tengah (Sulteng) pada 2011 yang ditangkap karena mempertahankan hak mereka dikutip dari evabande.wordpress.com.

PENCAPLOKAN ratusan hektar tanah petani oleh perkebunan sawit, PT Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS) masih berlangsung. Perusahaan sawit milik pengusaha lokal, Murad Husain ini sepanjang 2010 – 2011 menggusur persawahan milik masyarakat sekitar 450 hektar di Desa Moilong- Desa Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng).  Aneh, lahan warga yang sudah bersertifikat BPN pun masih bisa dikuasai perusahaan.

Ahmad Pelor, Direktur Eksekutif Walhi Sulteng mengatakan, PT. KLS juga melaporkan sekitar 13 masyarakat Desa Toili termasuk kepala desa Toili, ke Polsek Toili dengan tuduhan penyerobotan lahan HGU dan merusak sawit milik PT. KLS. Pada pertengahan 2011, perusahaan ini juga membakar satu rumah kebun warga lengkap dengan peralatan dapur dan pertanian.

Walhi yang tergabung dalam Front Rakyat Advokasi Sawit Sulteng  mendesak, BPN provinsi mencabut izin hak guna usaha (HGU) yang diterbitkan BPN di atas lahan warga yang bersertifikat. “Ini jelas tindakan melawan hukum,” katanya di Palu dalam pernyataan kepada media Kamis(1//11/12).

Polisi juga didesak memeriksa PT KLS yang telah memanipulasi syarat administrasi HGU dan melakukan tindakan melawan hukum dengan merampas dan mengkonversi lahan pertanian masyarakat menjadi kebun sawit. Polisi juga diminta menghentikan kriminalisasi petani sebagai pemilik hak yang dilindungi undang-undang.

Front juga mendesak pemerintah Sulteng dan Kabupaten Banggai menjamin, melindungi dan mengembalikan hak keperdataan warga atas areal pertanian sebagai amanat UU Pokok Agraria tahun 1960 dan aturan hukum lain.

Perkebunan sawit yang dikelola tak benar, tak hanya merusak hutan dan lingkungan juga kerap merampas hak-hak masyarakat. Foto: Rhett Butler

Menurut Ahmad Pelor, perampasan dan penyerobotan lahan pertanian warga yang sah dengan legitimasi negara cacat hukum dan manipulatif. Kanwil Badan Pertanahan Nasional Sulteng mengeluarkan dua Surat Keputusan pemberian HGU masing-masing bernomor 107–5040.1–19 –2005 tanggal 27 Desember 2005 seluas 1.133.900 meter persegi di Desa Toili. Lalu, HGU bernomor 108– 5040.1–19 –2005 tanggal 27 Desember 2005, seluas 1.359.900 meter persegi di Desa Toili.

“Padahal petani memiliki lahan itu secara tradisional hingga formal alias bersertifikat  BPN jauh sebelum PT KLS muncul dan membuka kebun sawit disana.”

Sejak 1970-an masyarakat Desa Toili dan Desa Moilong telah bertani sawah dan ladang  mencapai 300 hektar. Tahun 1982 pemerintah memprogramkan percetakan sawah baru melalui CV. Arinda, sebagai dengan target 700 hektar, termasuk perbaikan persawahan yang ada. CV. Arinda hanya  mampu mencetak persawahan baru dan memperbaiki lahan sekitar 400 hektar. Jadi, persawahan baru dicetak PT. Arinda hanya sekitar 100 hektar.

Pada 15 Agustus 2002, BPN Kabupaten Banggai mengukur seluas sekitar 285 hektar lahan yang telah dimanfaatkan sebagai tambak ikan dan udang, serta lahan tanah kering perkebunan kelapa, jambu mente, maupun komoditas lain. BPN juga mengukur areal persawahan seluas ± 185 ha.

Lalu, pada 2003, BPN Banggai menerbitkan lebih dari 200 sertifikat tanah seluas 285 hektar. “Jadi, status tanah yang semula dimiliki dengan tradisional beralih resmi berdasarkan pengakuan negara.”


Ratusan Hektar Lahan Petani Dicaplok jadi Kebun Sawit di Banggai was first posted on November 1, 2012 at 11:16 pm.

Warga Pahuwato Tolak Pembukaan Kebun Sawit

$
0
0

SEBAGIAN besar warga Desa Dudewulo, Kecamatan Popayato Barat, Kabupaten Pahuwato, Gorontalo, menolak rencana pembukaan kebun sawit. Warga khawatir kehadiran kebun sawit akan merusak lingkungan sekitar.

Bobi Dunggio, tokoh masyarakat desa Dudewulo, mengatakan, tidak mau bencana menghantam desa ini. “Kami sudah memiliki berbagai buku juga video referensi yang menjelaskan sawit hanya menguntungkan sesaat, namun tidak menjamin masa depan anak cucu kami,” katanya kepada Mongabay.co.id, Jumat (2/11/12).

Kini, sudah ada dua perusahaan sawit masuk ke desa itu, PT Sawit Tiara Nusa dan PT Sawindo Cemerlang. Perusahaan  itu, kata Bobi, sudah memasuki kebun rakyat.

Aman Biki, warga lain, mengatakan, meskipun perusahaan sawit menyatakan masyarakat akan mendapatkan keuntungan ekonomi dan mampu menyerap tenaga kerja, mereka tetap menolak. Sebab, dampak lingkungan dari perkebunan sawit menelan biaya besar.

“Keuntungan secara ekonomi oleh perusahaan kepada masyarakat, tetap tidak mampu mengganti biaya bencana yang akan ditimbulkan nanti.”

Aman mencontohkan, jauh hari sebelum sawit datang, sudah ada perusahaan kayu mengelola kayu di  itu. Yang mereka dapat hanyalah banjir dan tanah longsor. “Bahkan 2009, ada enam rumah warga terbawa arus banjir karena aktivitas perusahaan kayu,” ucap Aman.

Penolakan warga dengan cara berunjuk rasa. Aksi ini akan terus dilakukan sampai perusahaan sawit angkat kaki dari tanah mereka.

Di Kabupaten Pohuwato, ada enam perusahaan sawit sudah memiliki izin usaha perkebunan, yakni PT Wiramas Permai, PT Wira Sawit Mandiri, PT Banyan Tumbuh Lestari, PT Global Laksana, PT Sawindo Cemerlang, dan PT Sawit Tiara Nusa.

Jumadi Giono, Kepala Bidang Kesatuan Pengelolaan Hutan Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Pohuwato berupaya meyakinkan warga. Menurut dia, dampak ekologis sudah dipikirkan matang-matang. “Perusahaan sawit sudah mengantongi analisis dampak lingkungan. Jadi tidak perlu masyarakat khawatir.”

Namun, jika masyarakat di Dudewulo, bersikeras menolak perkebunan sawit, tetap akan dipertimbangkan dengan mencari lokasi atau desa lain.

Idan Pakaya, warga lain justru berharap perkebunan sawit beroperasi. “Saya sudah dua bulan menjadi security dengan gaji Rp1,7 juta per bulan.”

Awalnya, Idan bersama warga lain menolak perkebunan sawit. Setelah perusahaan sosialisasi, dia bisa menerima. “Perusahaan sawit tidak akan mengganggu lahan warga. Desa kami justru akan dijadikan sentral ekonomi.”

Ungkapan Idan dipatahkan Ahmad Bahsoan, Ketua Perkumpulan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Gorontalo.  Bahsoan mengatakan, perkebunan sawit hanya membawa keuntungan sesaat. Setelah itu, tanah yang sudah ditanami akan rusak dan hanya memberikan petaka ekologi.

Apalagi, pembukaan lahan besar-besaran hingga mengakibatkan deforestasi, keragaman hayati dan budaya masyarakat sekitar hilang. “Sudah banyak kasus terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Sawit hanya membawa bencana ekologi dan menciptakan konflik sosial.”

 


Warga Pahuwato Tolak Pembukaan Kebun Sawit was first posted on November 5, 2012 at 11:51 am.

Peta Wilayah Adat Diakomodir Masuk One Map Indonesia

$
0
0

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menyerahkan peta wilayah adat ke Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Badan Informasi Geospasial (BIG), seluas 2,402 juta hektar lebih dengan 265 peta wilayah adat, Rabu(14/11/12). Peta yang sudah terdaftar pada Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) ini kali pertama diserahkan, dan akan terus diperbaharui.

“Ini yang pertama kali di negeri ini. One map yang akan diperkaya dengan peta dan lokasi masyarakat adat. Mengapa ini penting? Karena untuk tahu wilayah adat, hingga tahu untuk mempertahankan wilayah itu,” kata Ketua UKP4 juga Satgas REDD+, Kuntoro Mangunsubroto, di Jakarta, Rabu(14/11/12).

Mempertahankan wilayah adat,  penting karena masyarakat menggantungkan hidup dari wilayah  itu. Dia mencontohkan, Suku Dalam di Jambi, mereka hidup di hutan. Kawasan mereka ini, katanya,  harus dipagari jangan sampai hutan alam hilang menjadi hutan industri. “Ini bukan bicara karbon, bukan bicara REDD. Sebab, kalau hutan heterogen diubah menjadi hutan homogen, bisa terancam masyarakat yang hidup dari hutan karena akan sulit menemukan binatang-binatang buruan.”

Asep Karsidi, ketua BIG, berdiskusi dengan Abdon Nababan, Sekjen AMAN saat penyerahan peta wilayah adat, Rabu(14/11/12) di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Jadi, kata Kuntoro, hutan memang harus ada untuk rakyat, termasuk masyarakat adat. “Inilah arti penting peta wilayah adat.”  Setelah peta ini diterima, lantas diserahkan kepada Badan Inforamasi Geospasial (BIG). “Nanti akan diverifikasi dan diplotkan dalam peta nasional.”

Abdon Nababan, Sekjen AMAN, mengungkapkan, selama ini, masyarakat adat seakan tak diakui negara. Dengan peta adat ini, untuk  menghadirkan masyarakat adat dengan segala hak-hak atas tanah, wilayah adat dan sumber daya alam ke dalam negara ini. “Jangan sampai masyarakat adat ada di dalam negara saat ada konflik saja.”

Menurut dia, masyarakat adat telah membuat pemetaan partisipatif sejak 1990-an. Namun, peta-peta adat itu hanya bisa tersimpan tanpa ada lembaga pemerintah yang mau mengakomodir. “Ketika peta selesai, tak ada tempat, kita kasih ke Kemenhut, dibilang tak ada aturan yang bisa menerima,” ujar dia. Menurut Abdon, sebenarnya, peta adat sudah ada lebih dari 6 juta hektar. “Yang sudah divalidasi dan verifikasi 2,4 jutaan hektar. Kita tidak mau menyerahkan peta sembarangan.”

Peta adat ini, katanya, sudah cukup detil dengan memasukkan fungsi-fungsi kawasan, seperti pemukiman, lahan pertanian, hutan dan lain-lain.

Asep Karsidi, Kepala BIG menyambut baik menyerahan peta adat ini. Menurut dia, ke depan, mungkin akan adat informasi geospasial tematik menyangkut masyarakat adat.


Peta Wilayah Adat Diakomodir Masuk One Map Indonesia was first posted on November 15, 2012 at 2:24 am.

Tumenggung Embaloh Hulu Adukan Kebun Sawit yang Ancam Tanah Adat

$
0
0

“TURUN-temurun kami menyusu di dalam hutan. Tidak ada tempat lain seperti di kota ini. Punya bank buat pinjam duit. Punya tempat perbelanjaan mewah. Hutan bagi kami adalah sumber kehidupan. Di sana ada tanah, air, dan udara, yang kami kelola di bawah tata aturan adat.” Demikian diungkapkan Vincensius Jebing. Pagi itu, Rabu(13/11/2012), Jebing turun gunung menyambangi Anggota DPD RI, Erma Suryani Ranik di Pontianak. Dia ingin mengadu tanah adat mereka yang terancam kebun sawit.

Lelaki 64 tahun ini satu dari tiga ketumenggungan di Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar). Jebing kini duduk sebagai Tumenggung Iban Jalai Lintang. Dua lainnya, Tumenggung Tamambaloh, dan Tumenggung Iban Benua Sadap. Di pundak para tumenggung inilah, kearifan lokal dipertaruhkan.

Jebing tak datang sendiri. Puluhan tokoh masyarakat Embaloh Hulu dan pemuka adat Subsuku Dayak Tamambaloh juga hadir. Tekad mereka bulat: pertahankan tanah leluhur.

Tumenggung Vincensius Jebing bersama anggota DPD RI, Erma Suryani Ranik (duduk), membahas ancaman tanah adat Embaloh Hulu oleh ekspansi kebun sawit. Foto: Andi Fachrizal

Kehidupan warga Iban dan Tamambaloh mulai terusik sejak kehadiran PT Rimba Utara. Izin konsesi yang dikuasai perusahaan sawit ini masuk di tiga kecamatan di Kapuas Hulu. Masing-masing Embaloh Hulu, Embaloh Hilir, dan Bunut Hilir.

“Perusahaan ini tak pantas masuk ke Embaloh Hulu. Tidak ada sosialisasi dengan kami, tiba-tiba Amdal sudah diterbitkan. Ini aneh. Kami tidak pernah tahu kehadiran perusahaan itu. Kalau Amdal sudah ada, perusahaan itu tinggal beroperasi. Kami tentu tak akan tinggal diam,” katanya dengan suara lantang.

Menurut Jebing, perusahaan ini hanya akan merampas tanah rakyat. Data dari Desa Ulak Pauk tercatat luas konsesi dikuasai perusahaan ini 12.000 hektar. Sekitar 9.000 hektar masuk Kecamatan Embaloh Hulu. “Jika ini terjadi, habislah tanah kami tempat berladang dan menoreh karet.”

Tokoh adat Tamambaloh, Akim, menyebut perusahaan itu hanya memicu konflik sosial. Baik antara warga dengan manajemen perusahaan, maupun warga dengan warga. “Khusus Embaloh Hulu, seluruh warga menolak. Bagaimana dengan dua kecamatan lain? Ini yang kami tak tahu.”

Kepala Desa Ulak Pauk, Agustinus, mengamini kemarahan Sang Tumenggung Iban Jalai Lintang dan sejumlah pemuka adat di desanya. Sebab, mayoritas mata pencarian warga di Embaloh Hulu berladang dan berkebun karet. Ada 756 jiwa atau 205 keluarga di Desa Ulak Pauk menggantungkan hidup pada hutan.

“Kita sudah mengadu ke mana-mana. Terutama soal izin Rimba Utara. Semula izin perkebunan karet. Tiba-tiba jadi kebun sawit. Lalu kita demo besar yang melibatkan ratusan warga di Pemda Kapuas Hulu. Hanya satu yang kami minta kepada pemerintah. Tolong batalkan izin konsesi perusahaan itu, khusus di Embaloh Hulu,” ucap Agustinus.

Aksi susulan mereka lakukan dengan mengadukan perkara ini ke anggota DPD-RI di Pontianak dan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kalbar. Mereka berjanji tak akan berhenti berjuang hingga tanah bebas dari ekspansi perkebunan sawit.

Anggota DPD-RI, Erma Suryani Ranik berjanji menindaklanjuti aduan warga itu. “Secepatnya saya akan laporkan ke Gubernur Kalbar. Aspirasi ini akan saya sampaikan ke Kementerian Kehutanan. Saya hanya berharap seluruh tokoh masyarakat dan pemuka adat agar menahan diri dan tetap menciptakan suasana aman di kampung masing-masing.”


Tumenggung Embaloh Hulu Adukan Kebun Sawit yang Ancam Tanah Adat was first posted on November 16, 2012 at 9:13 pm.

Kala Grup Wilmar Umbar Janji pada Warga Sungai Enau (bagian 1)

$
0
0

Jalan warga desa di Parit Kongsi, Desa Sungai Enau, dari tanah dilapisi kayu sebagai pengeras. Foto: Sapariah Saturi

PLANG nama perusahaan terpampang di pinggir jalan masuk kawasan perkebunan. “PT Bumi Pratama Khatulistiwa (Member of Wilmar International Limited).” Di belakang plang, gerbang masuk “Selamat Jalan” dengan logo PT BPK.  Ada satu pos penjagaan. Pagi itu, saya berkendara motor,  melalui jalan perkebunan yang bertanah merah padat, dan rata, dengan lebar sekitar delapan meter.

Tampak di kiri jalan deretan kebun sawit. Di kanan  jalan, mess perusahaan dan hamparan bibit-bibit sawit. Motor terus melaju. Makin ke dalam, kiri kanan pohon sawit.  Saya bersama dua teman,  menuju Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya (KKR). Ia berada di ujung perkebunan inti.

Di Kalimantan Barat (Kalbar), kebun sawit Wilmar Group ada 19 perusahaan dengan luas izin 223.120 hektare, tersebar di lima kabupaten, Sambas, Landak, Bengkayang, Sanggau dan Kubu Raya.

PT BPK di Kabupaten Kubu Raya, ada di dua wilayah kecamatan: Sungai Ambawang di Desa Mega Timur dan di Kuala Mandor B meliputi Desa Sungai Enau, Desa Kuala Mandor B dan Desa Kubu Padi. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kalbar, luas izin kebun perusahaan ini per Juni 2011 mencapai 15.000 hektar.

Namun, berdasarkan izin: 400/05-IL/95 tertanggal 5 Juni 1995 luas konsesi 18.312,96 hektar. Ber-HGU hanya 4.814, 95 hektar ditetapkan sejak 1996 . PT. BPK dilengkapi satu unit pabrik tandan buah segar (TBS) dengan kapasitas 30 ton TBS per jam terletak di Kampung Sungai Tempayan, Desa Mega Timur, Kecamatan Sungai Ambawang. Persis di tepi Sungai Landak.

Dalam perjalanan saya, di bagian akhir kebun inti, perusahaan baru membuka lahan. Tampak tumpukan-tumpukan tanah berbaur dengan sisa-sisa pepohonan. Namun, di petak-petak lahan itu, saya jumpai beberapa plang tertera nama dan luas tanah yang diklaim warga. “Tanah milik Bersikin BA, 50 x 200” begitu salah satu bunyi plang dari papan itu.

Kala memasuki perkampungan warga, kondisi berbeda mulai kelihatan.  Pepohonan beragam. Ada karet, rambutan, nangka, durian, sawit sampai lada dan lain-lain. Perbedaan menyolok lain, jalan utama warga masih tanah diberi kayu. Sayangnya, kayu-kayu itu tak banyak membantu di atas tanah bergambut. Badan jalan belubang lebar sana sini.  Motor tak bisa melaju cepat. Jika panas, debu memenuhi kendaraan, tubuh dan pakaian. Kala hujan, jalan licin dan berbahaya.

“Bisa dilihat dari batas kebun inti perusahaan itu, jalan rusak. Janji mau dikasih tanah merah untuk jalan, sampai sekarang mana ada,” kata Nawawi, Wakil Ketua Kelompok Masyarakat Tenaga Baru kepada Mongabay.co.id, akhir Agustus 2012.

Menurut dia, warga memperbaiki jalan sesuai kemampuan, bergotong royong memasang kayu sebagai pengeras jalan. “Warga bikin ambangan (memasang kayu di badan jalan), enak-enak perusahaan memanfaatkan tanpa ada bantu. Perusahaan tak tahu malu,” ujar dia.

Saat masuk 1996, berbekal izin konsesi, perusahaan ‘menduduki’ lahan-lahan masyarakat adat dan warga lokal di sana. ‘Uang kepak lelah’ berkisar Rp175 ribu-Rp425 ribu per hektar diberikan sebagai tanda pelepasan lahan dengan dalih 25 tahun dikembalikan. Pohon-pohon di hutan mulai ditebang.

Warga terus berjuang sampai saat ini. Seperti, di Parit Tenaga Baru, pada 28 Maret 2011,  sekitar 500 an warga aksi. Lalu terjadi pertemuan antara PT BPK, Muspika Kuala Mandor B, Kades Sungai Enau dan masyarakat.

Akhirnya disepakati lahan warga diganti Rp1,2 juta per hektar, dengan beberapa catatan. Warga mau melepas lahan awal tahun ini, dengan beberapa kesepakatan, seperti perbaikan jalan dengan tanah merah, pembuatan sarana air bersih, sampai memperhatikan masyarakat sekitar sebagai pekerja di kebun.  Namun, permintaan petani yang sudah diamini perusahaan ini  belum terealisasi.

Pemberian tanah merah baru ada di Parit Kongsi, Desa Sungai Enau, sekitar 800 meter dari janji tiga kilometer. “Itupun cuma tanah merah saja. Bahan yang lain warga gotong royong,” kata Ali, tokoh masyarakat yang tinggal di Parit Kongsi.

Nawawi mengatakan, masyarakat lokal bekerja di perusahaan dipersulit. “Mana ada orang kampung sini jadi manajer. Tak ada. Orang luar saja. Orang sini jadi kuli saja.”

Bambang  Haryono, Ketua Kelompok Tani Desa Sungai Enau,  mengatakan, perusahaan tidak mengindahkan kesepakatan yang sudah dibuat pada Februari 2012.  Warga protes dengan aksi dan lapor ke pemerintah daerah.  Pada 9 Juli 2012, Kelompok Tani Sungai Enau mengirim surat kepada Bupati KKR, untuk mengadukan ingar janji perusahaan.

Pelalaian perusahaan juga disampaikan ke Muspika. Warga disarankan membuat surat peringatan ke perusahaan sebanyak tiga kali. “Kita sesuai prosedur, surat teguran tiga kali disampaikan tapi diabaikan,” katanya.

Mereka pun memberikan batas waktu pada perusahaan sampai 12 Agustus 2012. Batas waktu lewat tetapi tetap tak ada tanda-tanda perusahaan menepati janji. Saat, akhir Agustus perusahaan masih ingkar janji wargapun bergerak menahan lahan. “Kami masih tak mau frontal dan anarkis. Menghindari pelibatan massa yang besar, langkah pertama, hanya ketua-ketua dan beberapa orang yang menahan lahan sekitar 2.000 an hektare,” ujar dia.

Kini, warga menahan kembali sekitar 4.000 hektar dan baru akan dilepas jika perusahaan menenuhi janji. Pada Oktober, warga berencana aksi lagi tetapi dibatalkan. “Pak Camat bilang suruh tahan. Perusahaan bilang menunggu periode Januari (2013). Oke kami tunggu, walaupun itu janji lisan,” ucap Bambang, Senin(26/11/12).

Warga ada yang bersedia menerima dana ‘pelepasan’ lahan Rp1,2 juta per hektar, tetapi ada juga yang tak mau.  Saderi alias Yusuf, warga Parit Tenaga Baru, menolak menyerahkan lahan sekitar 242 hektar. Dia menilai, sejak awal proses pelepasan penuh tipu daya. Ayahnya dulu,  Pak Selatan, tak pernah tanda tangan persetujuan penyerahan lahan. Namun, dalam daftar warga penyerah lahan namanya tertera.

“Jadi, sampai sekarang saya masih memperjuangkan lahan ayah saya,” ucap Saderi. Saderi juga Ketua Kelompok Masyarakat Tenaga Baru yang dipercaya menangani sekitar 2.000 hektar lahan warga. Kini, semua lahan yang dia tangani kembali diklaim. Bagian II

 

Pintu gerbang masuk PT BPK di Kuala Dua Mandor, KKR, Kalimantan Barat. Foto: Sapariah Saturi

Lahan di calon kebun inti masih diklaim warga karena perusahaan belum penuhi janji. Foto: Sapariah Saturi

Warga kesulitan dan berhati-hati kala melewati jalan desa yang masih tanah gambut. Foto: Sapariah Saturi

Jalan di kawasan perkebunan inti perusahaan bertanah merah padat dan lebar. Foto: Sapariah Saturi

Lahan warga yang bersedia melepas mulai dibersihkan. Foto: Sapariah Saturi


Kala Grup Wilmar Umbar Janji pada Warga Sungai Enau (bagian 1) was first posted on November 26, 2012 at 7:36 pm.

Grup Wilmar, dari Kesejahteraan Pekerja Buruk sampai Hasil Plasma Rendah (bagian 2)

$
0
0

Salah satu sisi kebun sawit PT BPK. Foto: Sapariah Saturi

“Jangan pernah mau kebun karet ditebang jadi sawit. Rugi,”  kata Nawawi, warga Parit Tenaga Baru, Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya. Dia juga Wakil Ketua Kelompok Masyarakat Tenaga Baru. Desa ini tempat beroperasi salah satu anak usaha Wilmar International Limited, PT Bumi Pratama Khatulistiwa (PT BPK).

Nawawi memilih mengurus 600 pohon karetnya daripada menjadi petani plasma maupun pekerja di kebun sawit. Bagi dia, lebih menjanjikan mengelola kebun karet dan tanaman lain seperti langsat, maupun durian daripada sawit. “Walau harga karet lagi turun, per hari menghasilkan sekitar Rp400 ribu. Kalau sebelumnya sampai Rp1 juta.”

Sejak perusahaan sawit ada, warga sekitar mayoritas sebagai buruh harian atau pekerja borongan. Upah yang diberikan pun rendah. “Misal membersihkan satu pohon, itu dibayar Rp175.” Membersihkan pohon sawit, tidak gampang, harus benar-benar bersih menurut petugas perusahaan. “Biasa sudah selesai bersihkan, mereka bilang belum, itu warga disuruh bersihkan lagi dan tak dibayar.”

Untuk buruh harian dengan jam kerja 6.00 sampai 15.00, upah  Rp37.500 per hari.  Pekerja borongan tak kalah miris, dalam 1,5 bulan kadang ada yang mendapatkan hasil hanya Rp200 ribu!

Ungkapan Nawawi diamini Bambang  Haryono, Ketua Kelompok Tani Desa Sungai Enau. Menurut dia, masalah kesejahteraan pekerja yang rendah, menjadi salah satu pemicu warga terus aksi. Pekerja  atau buruh harian tetap/BHT)  maupun buruh harian lepas (BHL)  sama-sama tak mendapatkan upah layak. Dengan upah sekitar Rp960 ribuan per bulan, pekerja tak mendapatkan tunjangan apa-apa lagi. “Bukan itu saja, status mereka nih tak jelas. Ada yang sudah tiga tahun, tak diangkat-angkat. Jadi buruh harian lepas terus.”

Para pekerja protes. Mereka berupaya menempuh jalur musyawarah, tetapi tak membuahkan hasil. “Kita sarankan mediasi dulu. Pakai cara-cara musyawarah tapi tak mendapat tanggapan perusahaan,” ucap Bambang.

Merekapun  mengirimkan surat berisi antara lain mempertanyakan status dan peningkatan kesejahteraan, kepada perusahaan yang ditembuskan ke Dinas Tenaga Kerja dan DPRD.  “Mereka minta perusahaan mempekerjakan mereka sesuai aturan pemerintah. Tetap saja tak ada tanggapan.”

Ternyata tak hanya pekerja di perusahaan dan kebun sawit inti yang merasa tak diperlakukan layak. Para petani plasma pun mengalami nasib tak jauh beda. Banyak petani mengeluh karena pendapatan dari kebun plasma sangat rendah. Per bulan, ada yang hanya Rp50 ribu.

Ali, petani Parit Kongsi, kerab merasakan per bulan hanya mendapatkan Rp50 ribu. Dia tak habis pikir, hasil begitu kecil. Dia sering mempertanyakan, tapi ada saja alasan dari ketua kelompok petani plasma di sana.  “Padahal, satu persil saja ada 290 pokok. Tapi hasil segitu.”

Ali bersyukur tak menggantungkan pendapatan dari sawit kebun plasma. Dia masih memiliki sekitar 30 hektar kebun karet unggul. Belum lagi, hasil kebun lain seperti 100 pohon durian, 170 pohon langsat, sampai petai yang biasa dipasok ke restoran-restoran di Pontianak.

Dia sempat berpikir mau menebang karet menjadi sawit tetapi urung. Dia hanya menebang sekitar 20 hektar pohon karet tua kurang produktif, kini tersisa 30 hektar yang unggul. “Sayang juga. Kalau semua kebun jadi sawit, tak bagus.  Bagus, banyak, ada karet, durian, langsat dan sawit.”

Saderi, Ketua Kelompok Masyarakat Tanaga Baru, mengalami nasib sama. Dari hasil kebun sawit plasma, per bulan menerima hanya Rp50 ribu-Rp70 ribu bahkan biasa tak mendapatkan sama sekali. “Ini dipermainkan.”

Walhi Kalimantan Barat (Kalbar) sudah melakukan penelitian lapangan seputar beragam persoalan dampak kehadiran PT BPK pada April 2012.  Hendrikus Adam,  Koordinator Divisi Riset dan Dokumentasi Walhi Kalbar mengungkapkan, terjadi aksi protes oleh masyarakat adat maupun karyawan karena perusahaan dianggap merugikan mereka. “Seperti protes karyawan dan buruh mengenai penghapusan dana insentif, tuntutan mendapatkan cuti kerja dan tunjangan kesehatan, serta kenaikan upah.”

Dia mengatakan, Wilmar sebagai anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil(RSPO) dan yang mendapat kucuran dana perpanjangan dari Bank Dunia, sebenarnya terikat dengan sejumlah aturan main dalam mengelola kebun secara berkelanjutan.

Dalam standar RSPO dan International Finance Corporate (IFC) seharusnya menjadi rambu-rambu kinerja group ini. Adapun sejumlah poin standar RSPO seperti komitmen terhadap transparansi, memenuhi hukum dan peraturan berlaku, komitmen kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang, dan penggunaan praktik terbaik tepat oleh perkebunan dan pabrik.

Lalu, tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keragaman hayati, pertimbangan bertanggungjawab atas karyawan, individu, dan komunitas yang terkena dampak perkebunan dan pabrik, pengembangan perkebunan baru yang bertanggungjawab serta komitmen perbaikan terus menerus pada wilayah-wilayah utama aktivitas.

Sedangkan standar IFC memuat sejumlah kriteria meliputi penilaian sosial, lingkungan dan sistem managemen, tenaga kerja dan kondisi kerja, pencegahan pencemaran dan penggunaan, dan kesehatan, keselamatan dan keamanan masyarakat. Kemudian pembebasan lahan dan pemukiman kembali, konservasi keragaman hayati dan pengelolaan sumbser daya alam berkelanjutan, masyarakat adat serta warisan budaya.

“Jadi, bila terjadi pelanggaran standar kinerja itu, memperlihatkan komitmen perusahaan lemah dan tak ada keseriusan memberdayakan rakyat, mengakomodir hak-hak komunitas dan lingkungan berkelanjutan,” ujar Adam.

Menurut dia, kehadiran kebun sawit ini, melahirkan pro maupun kontra di masyarakat. Mereka yang pro menganggap kehadiran perusahaan membawa dampak baik karena diberi kemudahan transportasi jalan dan lapangan pekerjaan. Namun, sebagian masyarakat merasa kehadiran BPK, menyebabkan tanah mereka makin sempit hingga tidak bisa berladang. Hutan yang dulu ada,  sekarang hilang. “Banyak hal lain muncul dari  masalah sosial budaya warga tempatan, sampai persoalan lingkungan hidup.” (lihat grafis).

“Fakta-fakta lapangan ini menjelaskan ekspansi perkebunan sawit Wilmar Group melalui perusahaan PTBPK masih menyisakan persoalan.”  Dengan kondisi ini, jelas perusahaan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan berkelanjutan dalam pengelolaan kebun. “Juga mengabaikan sejumlah poin terkait kewajiban yang harusnya dipatuhi sebagai anggota RSPO dan standar kinerja IFC.”

Untuk itu, Walhi Kalbar merekomendasikan beberapa hal. Pertama, optimalisasi peran pemerintah dalam evaluasi dan pengawasan terhadap PT. BPK. “ Ini untuk mendorong pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat juga pekerja atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta sejumlah hak-hak lain.”  Kedua, perusahaan diminta memperlakukan pekerja adil dan bermartabat. Ketiga, meminta RSPO memberi tindakan terhadap perusahaan.

Kebun karet warga sekitar di Desa Sungai Enau. Foto: Sapariah Saturi

Pohon durian warga Desa Sungai Enau. Foto: Sapariah Saturi


Grup Wilmar, dari Kesejahteraan Pekerja Buruk sampai Hasil Plasma Rendah (bagian 2) was first posted on November 27, 2012 at 10:50 pm.

Tuding Aktivis Lingkungan Provokator, GAPKI Diminta Banyak Belajar

$
0
0

Produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) Indonesia, kembali mendapatkan sorotan berbagai kalangan aktivis lingkungan baik lokal maupun internasional. Sebab, masih banyak ditemukan bukti operasi perusahaan sawit yang bermasalah, baik terhadap lingkungan maupun berkonflik dengan masyarakat sekitar. Aksi para aktivis ini dianggap sebagai kampanye negatif oleh para pengusaha sawit.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joefly Bahroeny usai menutup “The 8th Indonesia Palm Oil Conference and 2013 Price Outlook”  di Nusa Dua Bali, Jumat(30/11/12) menyebut keberadaan NGO sebagai provokator untuk merusak citra perkebunan sawit Indonesia, yang pada gilirannya diharapkan menjatuhkan daya saing sawit Indonesia di pasar internasional. Joefly menuding bahwa kalangan provokator menyebabkan suasana tidak kondusif dan terkait dengan persaingan bisnis.

Kalangan aktivis lingkungan pun menanggapi tudingan ini dengan mengungkapkan fakta-fakta. Komentar GAPKI dinilai sebagai upaya tutup mata terhadap beragam fakta di lapangan yang menyatakan operasi kebun sawit masih belum berkelanjutan.

Warga mematok lahan di dalam konsesi PT Bumi Pratama Khatulistiwa, anak usaha Wilmar International di Kabupaten Kubu Raya, Kalbar. Konflik sengketa lahan menjadi salah satu masalah dalam perkebunan. Foto: Sapariah Saturi

Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia yakin, ungkapan aktivis lingkungan provokator karena GAPKI belum pernah mempelajari begitu banyak laporan-laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Laporan itu,  mengungkapkan berbagai kerugian negara dan kerugian lingkungan diakibatkan operasi perkebunan sawit di Indonesia.

“Pertanyaan yang harus dijawab oleh Ketua umum GAPKI adalah apakah laporan-laporan audit BPK yang mengungkapkan kebobrokan operasi perkebunan sawit di Indonesia itu, juga dianggap sebagai suatu bentuk provokasi? Apakah BPK itu lembaga provokator?” katanya di Jakarta, Senin(3/11/12) kepada Mongabay.co.id.

Elfian pun menyarankan, GAPKI mempelajari temuan-temuan BPK dan rekomendasi-rekomendasi dari lembaga audit negara itu. “Daripada menuduh LSM nasional dan internasional sebagai provokator, sebaiknya Ketua Umum GAPKI sisihkan waktu mempelajari laporan-laporan audit BPK. Gunakan laporan-laporan itu sebagai referensi utama untuk pembenahan pada operasi dan manajemen perkebunan sawit bagi perusahaan-perusahaan di bawah keanggotaan GAPKI,” ucap Elfian.

Laporan audit BPK terbaru menurut Elfian banyak mengungkapkan fakta tentang perusahaan-perusahaan sawit dari grup bisnis skala besar yang dinyatakan melakukan tindak pidana kehutanan. Laporan audit BPK  ini juga menunjukkan begitu banyak perusahaan sawit bermasalah soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Tentunya, berdampak pada operasi perkebunan sawit yang buruk dari sisi lingkungan.

Tanggapan juga datang dari Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Eksekutif Nasional Walhi. Ia memandang sikap GAPKI memandang suara lembaga non pemerintah (non government organization/NGO) dan warga sebagai kampanye negatif (black campaign) justru mempertegas mereka melakukan dan menghalalkan serangkaian kejahatan manusia dan lingkungan.

Zenzi pun meminta agar GAPKI dapat mendalami definisi terkait tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan ekologis, “Kalau NGO mereka bilang provokator. Maka, penembakan warga, perampasan tanah rakyat dan wilayah ulayat, intimidasi serta kriminalisasi yang dilakukan oleh perusahaan sawit terhadap ratusan warga yang mempertahankan hak, itu apa namanya?‎ ujarnya.

Menurut Zenzi, bila sampai pembeli dan konsumen mulai memperhitungan bagaimana praktik produksi CPO, seharusnya menjadi catatan penting bagi GAPKI untuk memperbaiki diri. Pengusaha perkebunan sawit, lanjutnya sudah terlalu dimanjakan pemerintah dengan pengampunan massal pelanggaran UU 41 tentang Kehutanan, dengan keluarnya PP 60 dan 61 tahun 2012.

Puluhan ribu lahan sawah warga di Sumatera Utara menjadi kebun sawit. Perusahaan mulai membuka kanal-kanal yang menyedot air hingga sawah petani sekitar terancam. Foto: Walhi

Forest Related Crimes

Dalam kesempatan berbeda, Ketua Satuan Tugas REDD+ (Satgas REDD+) Kuntoro Mangkusubroto, Senin (22/10/12) menyebutkan bahwa Satgas cukup banyak menerima laporan masyarakat terkait pelanggaran hukum di sektor perkebunan dan pertambangan. Ia mengatakan bahwa Satgas akan memprioritaskan penanganan 12 kasus kejahatan kehutanan (forest related crimes), yang didominasi perkebunan sawit dan tambang yang beraksi melalui berbagai modus.

“Mulai pelanggaran administratif sampai pelanggaran hukum yang cukup serius.  Kami menindaklanjuti dengan koordinasi ke berbagai instansi penegak hukum secara terus menerus,” katanya di Jakarta. Satgas REDD+, katanya, terus berkoordinasi dalam penegakan hukum dengan Kepolisian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kejaksaan.

Lebih lanjut, Kuntoro menyebutkan bahwa 12 kasus ini sebagian masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan sebagian lain sudah dilimpahkan ke Kejaksaan.  Dari kesembilan kasus di sektor perkebunan, diidentifikasi ada tiga modus utama kejahatan. Pertama, kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dan tanpa dilengkapi izin usaha perkebunan (IUP). Kedua, melakukan penanaman tanpa mengantongi IUP di atas wilayah moratorium (PIPIB). Ketiga, persiapan lahan dengan cara membakar.

 

Foto: Yayasan Ekosistem Lestari

Lanjutkan Moratorium

Berbeda dengan GAPKI yang meminta agar jeda balak (moratorium) tidak dilanjutkan paska Mei 2013, maka Menteri Kehutanan Indonesia, Zulkifli Hasan, berkomitmen memperpanjang moratorium setelah selesainya masa dua tahun pertama.

Dukungan kepada perpanjangan moratorium pun datang dari berbagai kalangan aktivis lingkungan. Salah satunya lewat aksi yang dilakukan oleh para aktivis Greenpeace (27/11/2012). Greenpeace hari itu menyampaikan dukungan kepada delegasi tingkat tinggi dari Norwegia untuk melanjutkan dan meningkatkan bantuan penting mereka dalam melindungi hutan Indonesia.  Delegasi dipimpin Putra Mahkota Kerajaan Norwegia Pangeran Haakon Magnus dan Putri Mahkota Mette-Marit, termasuk Menteri Lingkungan Hidup Bård Vegar Solhjell berserta beberapa menteri lain dan pelaku usaha.

“Kami sekarang menyerukan agar Presiden Yudhoyono memastikan berupaya memaksimalkan dukungan Norwegia dengan memperkuat dan mengimplementasikan moratorium itu,” kata Yuyun Indradi, Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia.

Greenpeace juga menyerahkan rapor tentang kemajuan perjanjian Indonesia-Norwegia dalam perlindungan hutan kepada Menteri Solhjell. Dalam rapor itu menyatakan, kemajuan dinilai lambat, dan masih ada pertanyaan apakah perjanjian dapat dicapai sesuai jadwal sebelum pencairan dana untuk pengurangan emisi tahun 2014. Memang, sudah ada beberapa kemajuan dalam menyokong gerakan anti-korupsi, meningkatkan kesadaran, pembuatan satu peta sebagai rujukan, prinsip-prinsip kepemilikan nasional, rancangan dan rencana kelembagaan.

Namun, ada hal terpenting belum terpenuhi, yakni penghentian sementara selama dua tahun atas semua konsesi baru untuk konversi gambut dan hutan alam dan data yang dapat dipercaya mengenai lahan rusak. Rekomendasi Greenpeace memperkuat moratorium dengan meninjau semua izin penebangan hutan, dan memperluas moratorium untuk melindungi semua lahan gambut dan hutan sekunder.

Norwegia dan Indonesia terikat melalui sebuah Surat Pernyataan Kehendak (Letter of Intent), yang ditandatangani di Oslo pada 26 Mei 2010,  kedua negara bersepakat untuk bekerjasama melindungi hutan tersisa yang ada di Indonesia. Perjanjian ini berinti untuk mengikat kedua belah pihak dalam kerangka kerjasama yang bertujuan untuk menurunkan emisi yang terjadi di Indonesia melalui mekanisme REDD+.


Tuding Aktivis Lingkungan Provokator, GAPKI Diminta Banyak Belajar was first posted on December 3, 2012 at 9:06 pm.

Konflik Sawit Menggunung, GAPKI Bilang Masih Kecil…

$
0
0

Sawit, produk primadona dunia yang menuai konflik sosial dan lingkungan. Foto: Sapariah Saturi

Sekitar 70 persen permohonan yang masuk ke Kemenhut adalah permintaan pelepasan kawasan hutan oleh perusahaan untuk kebun

Konflik antara warga dan perusahaan sawit tampaknya sulit selesai karena seakan tak ada keinginan dan kesadaran para pemangku kepentingan untuk menuntaskan.  Pengusaha seakan menyepelekan masalah, dan menilai konflik masih kecil. Sedang, pemerintah yang seharusnya berperan aktif menengahi dan mencari solusi, terkesan hanya sebagai penonton yang baik.

Setidaknya pesan ini tertangkap kala diskusi akhir tahun yang diselenggarakan Kemitraan (Partnership) dan Yayasan Perspektif Baru (YPB) di Jakarta, Kamis(20/12/12) bertema “Antara Politik Pelestarian Hutan dan Bisnis Sawit.” Hadir sebagai pembicara Jefri Gideon Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch;  Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki); Mas Achmad Santosa, Deputi IV bidang Hukum UKP4 serta Basoeki Karyaatmadja, Sekretaris Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan (Kemenhut).

Jefri mengatakan, ekspansi kebun sawit di Indonesia begitu luas, sampai 2012, sudah mencapai sekitar 11 juta hektar. Dengan alasan pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan, luas kebun akan terus bertambah. Bahkan, pemerintah berencana memperluas hingga 20 juta hektar dengan lahan di Sumatera dan Papua. Bisnis ini dalam 2012, menghasilkan US$9,1 miliar dan pungutan ekspor Rp14 triliun dengan buruh langsung yang diserap sekitar 5 juta orang.

Di balik gemerlap untung itu, katanya, menimbulkan banyak dampak sosial dan lingkungan. “Paling sering muncul konflik sosial antarwarga, warga dengan perusahaan, warga dengan pemerintah termasuk aparat keamanan,” katanya di Jakarta, Kamis(20/12/12).

Masyarakat adat maupun penduduk lokal, salah satu kelompok rentan konflik selain petani plasma dan buruh.  Warga kerap tergusur dari wilayah mereka baik di hutan, rawa gambut maupun lahan pertanian. Sebagian kecil warga mendapatkan pergantian tanam tumbuh, yang lain digusur paksa. Kondisi ini, biasa karena mereka tak ada hak lahan, baik sertifikat maupun pengakuan tertulis.

“Ini tambah parah karena ketidakmampuan dan ketidakmauan pemerintah memberikan pengakuan legal bagi hak penguasaan maupun hak kelola bagi mereka.”

Bagi petani plasma, masalah yang kerab muncul antara lain, penyerahan kebun sawit kemitraan tak tepat waktu atau tak sesuai janji. Biasanya, masyarakat dijanjikan jika mau menyerahkan lahan, pembagian 10: 2.

“Artinya, bila penduduk menyerahkan lahan 10 hektar maka akan mendapatkan kebun sawit kemitraan dua hektar dalam bentuk utang  yang pembayaran dicicil dari hasil tanda buah segar kebun tadi.” Untuk mendapatkan lahan cepat, perusahaan berjanji konversi kebun sawit ke petani paling lama empat tahun. “Fakta yang sering terjadi, kebun diserahkan ke petani rata-rata delapan sampai sembilan tahun!” ucap Jefri.

Tak hanya itu. Kualitas kebun plasma buruk dan tak sesuai ukuran, utang maupun bunga kredit terlalu tinggi dan tak transparan. Berbicara buruh,  sekitar 65 persen pekerja di kebun sawit buruh harian lepas (BHL), dengan upah Rp24.500-32.500 per hari, tak ada jaminan atau asuransi. “Alat kerja disediakan sendiri dan rentan pelecehan seksual serta rentan keracunan zan kimia maupun kecelakaan kerja.”

Untuk itu, Jefri, mendesak, ada moratorium ekspansi kebun sawit terlebih dahulu guna membenahi perizinan dan kebun-kebun yang ada.

Mas Achmad juga membahas tentang konflik sawit yang kian tinggi.  Menurut dia, akar masalah konflik setidaknya ada tiga. Pertama, karena ketidakjelasan status dan kepemilikan tanah. “Ini akar. Karena tidak diakui status kepemilikan masyarakat adat dan lokal yang tak miliki status formal. Belum tuntas status penetapan tanah negara dan masyarakat.”

Kedua, ketimpangan stuktur dan penguasaan tanah. Kondisi ini, karena ketiadaan pengaturan pembatasan lahan yang efektif (hukum tidak ditegakkan dan saling bertentangan), pola pembangunan belum sepenuhnya adil. “Pengelolaan tanah perkebunan, pertanian dan kawasan hutan oleh masyarakat relatif kecil dibanding perusahaan skala besar.”

Ketiga, kelemahan dalam tata pemerintahan. Keadaan ini, bisa dilihat dari praktik KKN dalam pemberian izin atau hak, kelemahan koordinasi antara instansi, kelemahan penegakan hukum dan lembaga penyelesaian konflik, peraturan tumpang tindih dan tak ada peta terintegrasi (one map).

Ekspansi sawit begitu luas dengan tak dilengkapi save guard ini muncul konflik-konflik tak terkendali. Salah satu contoh, konflik di Mesuji, baik di Sumatera Selatan (Sumsel) maupun Mesuji Lampung.

“Jadi, masalah izin dan hak konsesi sawit, perusahaan ingkar janji, keterbatasan akses tanah, ketidakjelasan status tanah masyarakat, ketimpangan struktur kepemilikan menjadi gambaran umum bisnis sawit di negeri ini.”

Untuk itu, katanya, perlu ada langkah-langkah, seperti revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Perizinan Perkebunan.  Dalam Permentan ini,  banyak terkait tata kelola, terutama pemberian zin.  “Isu pertama, perlu perbaikan luas lahan perkebunan. Dalam permentan, tidak ada pembatasan lahan pada kelompok perusahaan, hanya pada satu perusahaan. Banyak tantangan dalam revisi ini terutama dari perusahaan.”

Lalu, masalah plasma dan kemitraan. Dalam permentan perlu ada satu pengaturan jelas tentang wilayah plasma, apakah di dalam atau di luar lokasi. Lalu kejelasan prosedur pemberian plasma, dan rencana kemitraan perlu diperjelas agar masyarakat terlibat aktif dari proses perencanaan.

Selanjutnya, masalah kejelasan hak atas anah (hak guna usaha/HGU). Penerbitan HGU seharusnya memperhatikan konflik-konflik yang masih berlangsung. Namun dalam praktik, perkebunan beroperasi sebelum HGU terbit. “Ini dampak negatif pada ketidakjelasan hak masyarakat dan perusahaan.”

Selain itu, sanksi administrasi dan tanggung jawab pemerintah pusat juga dibahas dalam revisi permentan itu. “Kelihatan memang tidak terkendali usaha-usaha perkebunan di daerah karena otonomi daerah. Karena itu, penerbitan izin tak sesuai prosedur berlaku, karena anggap ini otonomi jadi bisa atur sendiri.” Untuk itu, kata Mas Achmad, perlu sanksi administrasi lebih ketat dilengkapi mekanisme yang diistilahkan second line enforcement.

Mengenai penanganan konflik, dia mengusulkan dua hal. Pertama, ada kebijakan pemerintah dalam bentuk inpres atau apapun tentang aksi nasional pencegahan konflik agraria. “Ini untuk menjawab akar masalah dan konflik, misal karena ketidakjelasan status tanah, struktur kepemilihan tanah timpang dan pemerintahan yang lemah itu,” ujar dia. Kedua, kelembangaan, dengan membentuk tim terpadu penyelesaian konflik agraria.

Saat Joko berbicara, tampak menyepelekan konflik sawit yang terjadi. “Pengaduan memang ribuan iya, tapi konflik tidak sampai segitu. Masih bisa dihitung dengan jari,” katanya.

Menurut dia, penyelesaikan konflik sebenarnya simpel. Jika lahan ada konflik dengan masyarakat seharusnya dibersihkan, atau negoisasi. Semua ada ketentuan. Negoisasi, katanya, ada bermacam-macam, bisa ganti rugi atau yang lain. “Kalo kepemilikan masyarakat tidak bisa dinegoisasi, mau tak mau harus di-enclave. Seharusnya begitu. Tapi ada (pengusaha) yang maksain. Ya, memang ada. Namanya juga manusia…”

Meskipun mengutip data Kementan maupun Kepolisian, Joko menuding konflik sawit dibesar-besarkan. Dia menyebut, dari Kepolisian Sumatera Utara (Sumut), selama 2005-2012 menyebutkan, terdapat 2.794 kasus konflik tanah. Lalu, data Ditjen Perkebunan, Kementan, menyatakan,  selama 2011 teridentifikasi 822 kasus 625 land dispute dan 197 non-land dispute. “Konflik di perkebunan sawit secara tendensius dibesar-besarkan!” katanya.

Usulan penyelesaian konflik yang ditawarkan Gapki pun sesungguhnya bukan solusi. Joko menilai, plasma sebagai program baik win-win solution antara perusahaan dan masyarakat. Padahal, program plasma sudah lama diterapkan, dan terbukti di lapangan banyak menimbulkan masalah.

Dalam aturan Mentan, perusahaan yang memiliki konsesi harus mengalokasikan 20 persen lahan untuk masyarakat, bisa lewat kebun plasma. Namun, dalam pandangan Joko, kebun plasma itu wujud tanggung jawab sosial (CSR). Padahal, CSR merupakan kewajiban perusahaan yang diperintahkan UU.

Jalan warga di Desa Sungai Enau, Kalimantan Barat, masih dari tanah yang belum dibangun perusahaan (PT BPK, Wilmar group), sesuai janji saat meminta warga melepas lahan. Foto: Sapariah Saturi

Kawasan Hutan

Bukan hanya membantah besaran konflik, Joko juga menegaskan, tak ada satupun perusahaan sawit beroperasi di kawasan hutan. “Aneh kalo perkebunan dituduh merambah hutan. Karena pasti kalo tanah kita di luar kawasan hutan.”

Ini berbeda dengan fakta lapangan yang membuktikan sebaliknya. Ambil contoh, kasus kebun sawit di hutan gambut Rawa Tripa, Aceh.

Namun, dia juga mengaku banyak terjadi keluhan pengusaha karena tata ruang berbeda-beda, dari versi kabupaten, provinsi sampai pusat. “Tata ruang penting,  karena tata ruang tidak jelas menjadi sumber konflik lahan.”

Ungkapan Joko, jika kebun sawit tidak ada di kawasan hutan, mungkin tak sepenuhnya salah. Mengapa? Sebab, sebelum membuka kebun di hutan, mereka meminta pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu. Ungkapan Kemenhut lewat Basoeki bisa menjelaskan.

Basoeki merasa heran, karena surat permohonan yang masuk ke meja dia, sekitar 70 persen itu permintaan perusahaan agar Kemenhut melepaskan kawasan hutan untuk kebun. “Saya jadi berpikir, sebenarnya berapa banyak hutan yang mereka perlukan?” “Apakah mereka pikir hutan itu murah atau mudah kali ya jadi selalu saja yang diminta (pelepasan) kawasan hutan?”

Menurut dia, ada 20,9 juta hutan produksi konversi (HPK). Sekitar 9 jutaan hektar sudah dibebani izin alias digunakan jadi masih tersisa 11 jutaan hektar. “(Jika mau izin berkebun) itu saja sudah cukup, jangan ganggu hutan yang lain,” ujar dia.

Konflik sawit dari Januari sampai April 2012. Sumber: Elsam


Konflik Sawit Menggunung, GAPKI Bilang Masih Kecil… was first posted on December 24, 2012 at 7:41 pm.
Viewing all 209 articles
Browse latest View live