Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 209 articles
Browse latest View live

6 Perusahaan Sawit Cemari Sungai di Merauke

$
0
0

Sekitar enam perusahaan sawit dalam proyek Merauke Integrated Food Energy and Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke, Papua, mencemari tiga sungai yang mengalir di kawasan Suku besar Malind Bian di Kota Merauke. Tiga sungai itu masing-masing,  Sungai Kum, Bian, dan Maro. Akibat pencemaran limbah perusahaan, ikan-ikan mulai banyak mati, seperti gabus dan mujair. Tak hanya ikan,  buaya juga naik ke daratan.

Enam perusahaan sawit berskala besar beroperasi di kawasan Malind Bian, Merauke, yaitu PT Dongin Prabhawa (Korindo Group), PT Bio Inti Agrindo (Korindo Group), PT Central Cipta Murdaya (CCM), PT Agriprima Cipta Persada, PT Hardaya Sawit Papua dan PT Berkat Cipta Abadi. Keenam perusahaan ini telah beroperasi di kawasan Malind Bian.

Carlo Nainggolan dari Sawit Watch mengatakan,  dari hasil investigasi dampak pencemaran limbah 10 perusahaan sawit,  menyebabkan ketiga sungai berubah warna dan mengeluarkan bau tak sedap. “Masalah air bersih tidak cukup bagi warga yang bermukim di sekitar kali itu,” katanya di Jayapura, Jumat (21/12/2012).

Perkebunan sawit di sepanjang Kali Bian dan Kali Maro, menimbulkan masalah besar bagi pemilik ulayat. Perusahaan membersihkan lahan dengan membakar, mengakibatkan air tercemar, situs budaya masyarakat, dan kekayaan alam hilang. Perusahaan sawit, katanya, harus bertanggung jawab memulihkan dan memberikan kompensasi kepada di sepanjang pesisir Kali Bian, Kaptel, dan Kali Maro. “Persediaan air bersih minim. Sekarang Papua Selatan kemarau panjang. Kami menduga akibat aktivitas perusahaan besar di sana. Ada tiga perusahaan besar milik Korea yang beroperasi.”

Warga Malind Bian mulai resah karena hutan-hutan ditebang untuk MIFEE. Perusahaan sawit PT Korindo Tunas Sawaerma, PT Bio Inti Agrindo, PT Berkat Cipta Abadi, dan PT Papua Agro Lestari, membuka hutan tanpa memperhitungkan dampak lingkungan. “Ditambah lagi kontrak 35 tahun. Kami memperkirakan, kalau kontrak diperpanjang hingga 120 tahun, pemilik tanah bukan hanya kehilangan hak ulayat tapi hutan mereka makin rusak.”

Menyangkut masa kontrak, yang bakal menjadi masalah adalah hak guna usaha (HGU) diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUP Agraria). Berdasarkan pasal 29 UU Agraria, HGU dapat diberikan maksimal 25 tahun (perusahaan dengan kebutuhan tertentu, dapat diberikan maksimal 35 tahun). Setelah habis jangka waktu, HGU dapat diperpanjang paling lama 25 tahun.

Pengaturan mengenai HGU dapat ditemui pada PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah. Menurut aturan itu, setelah sebagaimana diatur dalam UU Agraria, bisa diberikan pembaruan hak. “Ini masalah serius yang harus diperhatikan pemerintah setempat. Perusahaan dan pemerintah harus memberikan kejelasan kepada pemilik lahan.”

Dalam rilis Sawit Watch, tahun 2011, lebih dari 11,5 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia. Proyek MIFEE, dimulai Agustus 2010 seluas 1, 2 juta hektar merupakan hutan alam, tempat sumber makanan pokok bagi Suku Malind Anim. Pada September 2012,  Badan Perencanaan Investasi Daerah (Bapinda) Merauke, mencatat 46 perusahaan mendapat izin. “Dari 46, 10 perusahaan sawit. Perusahaan ini di Sungai Digoel, dan Malind Anim,” kata aktivis Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung Merauke, Nelis Tuwong.

Sepuluh perusahaan sawit itu adalah PT. Dongin Prabhawa (Korindo Group) PT. Papua Agro Lestari, PT. Bio Inti Agrindo (Korindo Group),  PT. Mega Surya Agung, PT. Hardayat Sawit Papua, PT. Agri Nusa Persada Mulia, PT. Central Cipta Murdaya (CCM), PT. Agri Prima, PT. Cipta Persada dan PT. Berkat Cipta Abadi. Aktivitas perkebunan sawit dimulai sejak 1997 melalui PT Tunas Sawa Erma, anak perusahaan Korindo Group.

Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malind Bian mendesak pemerintah mencabut dan membatalkan izin lokasi sejumlah perusahaan perkebunan dan sawit di Kabupaten Merauke. “Aktivitas perusahaan kami saksikan telah membongkar hutan adat yang selama ini kami lindungi, jaga dan pelihara. Ini menghilangkan berbagai macam obat-obatan tradisional,” kata Ketua LMA Malind Bian, Sebastianus Ndiken.

Kini, warga sulit mencari sagu, binatang buruan, bahan pakaian tradisional serta perlengkapan adat yang tersedia di hutan. Bagi mereka, hutan adat rusak sama dengan menghilangkan budaya. Ibu-ibu yang dulu menimba air bersih di sekitar rumah, kini harus berjalan kaki berkilo-kilo meter mencari air bersih.

Perusahaan, katanya, datang ke kampung tak pernah memberi informasi lengkap, jelas dan benar. Tidak juga melibatkan masyarakat adat dan pemilik tanah sejak awal rencana investasi. “Begitu juga peraturan dan perizinan, tidak disampaikan terbuka, jelas dan terperinci, termasuk dampak yang berpotensi muncul dari izin-izin perusahaan itu terhadap tanah adat kami.”

Dalam proses sosialisasi, konsultasi, verifikasi marga pemilik, dan negosiasi perusahaan, kata Ndiken, tidak pernah melibatkan marga keseluruhan. Perusahaan hanya mengajak ketua marga dan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk aparat pemerintah distrik agar tanah adat digusur dan dibongkar. Pelibatan ini seperti hadir dalam proses penyusunan Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), konsultasi dan penilaian Amdal.

Tak hanya itu. Perusahaan menyewa tanah adat dengan harga murah. Tahun 2007, sewa tanah selama 35 tahun Rp50 ribu, naik menjadi Rp70 ribu, sekarang Rp350 ribu per hektar. “Kami minta harga tanah naik menjadi Rp5 juta, perusahaan tidak mau.” Perusahaan, menjanjikan mendirikan sekolah dan puskesmas, tapi tidak dipenuhi hingga kini.

Paustinus Ndiken, Sekretaris Lembaga Adat Malind Bian mengatakan, kehadiran perusahaan di tanah adat menimbulkan kerusakan besar. “Ikan, kura-kura, dan binatang air lain banyak mati.” Air sungai dan rawa untuk kebutuhan warga sehari-hari tercemar limbah perusahaan. “Mereka harus berjalan jauh untuk mencari air bersih. Karena hutan habis dibabat, warga kesulitan mencari sagu, binatang buruan, dan kulit kayu sebagai bahan pakaian tradisional. Hutan adat yang rusak itu sama dengan menghilangkan budaya kami,” kata Paustinus.

David Dagijay, warga Suku Yeinan mengungkapkan,  satu perusahaan sawit, Wilmar Group, berupaya negoisasi dengan warga pemilik lahan agar mengizinkan tanah untuk menanam sawit. Namun, masyarakat bersikeras menolak. Wilmar Group berencana membuka lahan sawit 40 ribu hektare. Masyarakat tak mau dibohongi seperti tetangga mereka, Suku Malind Anim.

“Kami masih tarik ulur untuk sepakati kehadiran perusahaan itu. Kan ada enam kampung di Yeinan. Jadi, dua kampung sudah kasih izin, Kampung Bupol dan Poo. Sedangkan, empat kampung lain belum.” Wilayah Suku Yeinan meliputi Kampung Toray, Poo, Erambu, Tanas, Bupul dan Kweel. Yeinan bagian dari Suku besar Malind Bian.

Bupati Merauke, Romanus Mbaraka mengatakan, masih menyeleksi sejumlah perusahaan yang akan investasi di Merauke. Menurut dia, MIFEE berdampak kerusakan lingkungan dan sosial. “Terjadi pendangkalan di Sungai Bian dan para pemilik lahan hanya dipekerjakan sebagai buruh kasar.”

 


6 Perusahaan Sawit Cemari Sungai di Merauke was first posted on December 25, 2012 at 11:20 am.

Kaleidoskop Konflik Agraria 2012: Potret Pengabaian Suara dan Hak Rakyat (Bagian 1)

$
0
0

Grafik Perbandingan Konflik Lahan di Empat provinsi di Sumatera. Desain Mongabay Indonesia.Foto latar Sapariah Saturi

KONFLIK-konflik agraria atau sumber daya alam (SDA) makin parah. Ketidakjelasan tata ruang termasuk penetapan kawasan hutan, sampai sikap pemerintah yang seakan membiarkan konflik, makin memperburuk keadaan. Perusahaan-perusahaan masuk ke wilayah-wilayah berpenghuni, atau di lahan milik masyarakat adat maupun lokal. Konflik antar warga, warga-perusahaan, warga-pemerintah, pun muncul. Masyarakat menjadi pihak yang paling banyak menanggung rugi.

Gesekan-gesekan berujung terus terjadi. Sederet konflik SDA menyebabkan kerugian harta dan jiwa terjadi hingga penutup tahun ini. Data Walhi, menyebutkan, pada 2011, ada 8.307 kasus konflik agraria, 4302 kasus dinyatakan telah selesai.

Paling banyak konflik terjadi di Sumatera Barat 883 kasus, di Sulawesi Selatan 780, Jawa Barat 749, Jawa Tengah 532, Bali 515, Jawa Timur 400, Nusa Tenggara Timur 335, Sumatera Utara 331, Banten, 324, dan Kalimantan Timur 242 kasus. Berikut kami sajikan cuplikan sebagian kecil konflik agraria yang terjadi tahun ini.

Januari 2012

Awal tahun,  catatan konflik agraria dimulai dari sekitar 84 petani Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, aksi protes di depan pintu masuk gedung DPR. Mereka meneruskan protes tahun 2011, yang sempat aksi jahit mulut.

Kali ini, mereka tidak lagi jahit mulut karena membahayakan jiwa demonstran.  Aksi mereka mendesak pemerintah, terutama Kementerian Kehutanan (Kemenhut), agar segera mencabut izin PT. Riau Andalan Pulp Paper (RAPP) yang dianggap merusak ekosistem hutan di Pulau Padang. Perusahaan menggusur lahan yang dimiliki warga.

Masih dalam Januari, di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan juga terjadi konflik agraria gara-gara perusahaan milik adik bupati, PT Batulicin Bumi Bersujud (PT BBB)  mengajukan izin HTI ke Kemenhut. Izin seluar 29 ribu hektar itu sebagian masuk wilayah adat Suku Dayak Pegunungan Meratus, terdiri antara lain, perkampungan, pekuburan, sawah ladang. Masyarakat protes dan melaporkan kasus ini Ke Menteri Kehutanan.

Di Halmahera Tengah, konflik warga dengan perusahaan tambang terjadi pada akhir bulan ini. Sengketa lahan terjadi di Halmahera Tengah karena ada pembukaan pertambangan nikel oleh perusahaan asing, PT. Weda Bay Nickel. Masyarakat Desa Gemaf dan 66 keluarga Desa Lelilef Sawai, belum mendapat ganti rugi, tetapi lahan dirampas. Mereka melapor ke Komnas HAM. Rekomendasi lembaga itu,  agar perusahaan negosiasi pergantian rugi dan tidak intimidasi.

Namun, perusahaan tetap menggusur lahan, hingga warga memblokade jalan dan mengusir alat-alat berat perusahaan. Masyarakat tetap bertahan dengan membuat palang-palang pemilik lahan dan poster-poster seruan aksi.

Berlanjut, pada 26 Januari, massa membakar kantor Bupati Bima, NTB buntut penolakan terhadap rencana masuknya pertambangan. Sekitar 20 ribu massa tergabung dari unsur masyarakat dan mahasiwa aksi demonstrasi di depan kantor Bupati Bima. Mereka menuntut janji Bupati Ferry Zulkarnaen pada lima hari lalu bahwa akan ada dialog dengan masyarakat mengenai pencabutan SK Nomor 188 Tahun 2010 tentang Izin Pertambangan Emas.

Februari 2012

Pada hari pertama bulan ini ditandai pembentukan panita khusus konflik agraria. Pansus ini dibuat dengan melihat begitu marak konflik agraria dari satu daerah ke daerah lain.

Pada 2 Februari, di Riau, lima petani menjadi korban kekerasan aparat. Peritiwa ini terjadi ketika warga demonstrasi mempertahankan lahan mereka dari oleh PT Majuma Agro Indonesia (MAI).

Trend Konflik Sumber Daya Alam di Riau. Data: Walhi Riau, Desain oleh Mongabay Indonesia. Foto latar Sapariah Saturi

Pada penutup bulan ini, 25 Februari, ratusan warga Kampung Fajar Indah, Panca Jaya, Mesuji, Lampung, mengamuk di PT Barat Selatan Makmur Investindo. Warga protes kehadiran perusahaan sawit ini hingga berujung pembakaran kantor dan gudang bahan bakar perusahaan ini.

Maret 2012

Pada awal Maret, konflik lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II Sei Semayang, di Kelurahan Tunggurono, Kecamatan Binjai Timur, memanas. Tiga kubu yang terdiri dari PTPN II Sei Semayang, dan dua kubu warga tani terlibat bentrok di atas lahan eks HGU PTPN II Sei Semayang. Ada yang melepas panah beracun dalam bentrokan ini hingga beberapa warga terluka.

Petani Jambi yang berkonflik dengan perusahaan, melanjutkan aksi dengan berkemah di depan Kementerian Kehutanan di Jakarta, pada November 2012. Foto: Sapariah Saturi

Lalu, pada penutup bulan ini, empat petani menjahit mulut karena kecewa atas konflik lahan tanpa penyelesaian. Puluhan lain menutup mulut dengan lakban di halaman Kantor Gubernur Jambi, Telanaipura, Kota Jambi.

Petani meminta penyelesaian atas konflik lahan yang mereka alami dengan sejumlah perusahaan. Masyarakat Suku Bathin IX menuntut pengembalian lebih dari 3.600 hektar tanah adat yang menjadi kebun sawit PT Asiatic Persada, anak usaha Wilmar Group. Petani Desa Kunangan Jaya dan Mekar Jaya berebut lahan dengan PT Agronusa Alam Sejahtera dan Wanakasita Nusantara seluas 11.000 hektar.

April 2012

Awal bulan ini, diwarnai aksi petani dari Kacamatan Batahan, Kabupaten Mandailing Natal ke kantor DPRD setempat. Mereka menuntut penyelesaian sengketa lahan dengan PT Palmaris Raya. Mereka para transmigran yang didatangkan dari Jawa pada 1998 ke daerah itu. Namun, ratusan warga ini hidup menderita karena lahan yang diperuntukkan bagi mereka malah dicaplok perusahaan.

Pada akhir April terjadi tragedi dampak suara warga tak didengar. Sejak awal, warga keberatan dengan kehadiran perkebunan sawit milik PT SLS di Desa Bago Tanggul, Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Namun, tuntutan mereka tak digubris dan menyebabkan kekesalan massa. Pada 23 April warga menghadang  jalan perusahaan dengan bersenjata hingga menyebabkan satu karyawan perusahaan tewas.  Situasi memanas. Polisi dan aparat TNI berjaga-jaga.

Mei 2012

Konflik warga dan perusahaan terus terjadi.  Di Riau,  pada 7 Mei 2012, di Topung Hulu, PT RAKA berkonflik dengan warga hingga terjadi bentrokan fisik dengan enam korban penembakan. Perusahaan ini juga berkonflik dengan masyarakat di Kecamatan Tapung Hilir. Di hari yang sama warga Desa Batang Kumu, Rokan Hulu bentrok dengan PT Mazuma Agro Indonesia (MAI). Tiga rumah warga dirusak.

Pada 9 Mei, terjadi unjuk rasa penolakan kehadiran tambang di Bima. Penolakan dilakukan terhadap kehadiran tambang batu marmer di Desa Campa, Kecamatan Madapangga, Kabupaten Bima ini berakhir ricuh dan massa yang pro dan kotra nyaris bentrok. Beruntung, bentrok tak sampai terjadi setelah dilerai oleh aparat yang mengawal jalannya aksi.

Aksi sejumlah pemuda ini berawal di Desa Dena. Massa sempat menghadang sebuah truk warna merah. Truk ini dikira milik PT Bunga Raya. Pasalnya, aktivitas truk PT Bunga Raya yang sering berlalu lalang di jalan lingkungan desa mengakibatkan ruas jalan rusak. Setelah di periksa, truk bukan milik PT Bunga Raya dan akhirnya dilepas.

Pada 22 Mei, bentrokan warga dan PT PN II di Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara, pecah. Belasan orang luka-luka. Suasana mencekam. Di beberapa kampung sekitar lokasi bentrok sepi, sebagian warga pergi. Mereka takut ditangkap polisi karena terlibat dalam bentrokan dan pembakaran lima truk PTPN II.

Konflik terjadi karena lahan masyarakat diklaim milik BUMN ini. Satu sisi, HGU perusahaan ini belum diperpanjang. Ada juga lahan masyarakat adat dulu disewa perusahaan perkebunan masa Belanda, sebelum dinasionalisasi menjadi PTPN II.

Penolakan warga terhadap kehadiran perusahaan tambang emas. Foto: Iswadi Sual

Pada 26 Mei, terjadi demonstrasi anti tambang di Desa Picuan Lama, Minahasa Selatan, Sumatera Utara (Sulut) menyebabkan dua orang luka tembak dan menahan seorang mahasiswa, Iswadi Sual.

Demonstrasi warga Desa Picuan, Motoling Timur, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara (Sulut), menolak perusahaan tambang emas, PT Sumber Energi Jaya (SEJ) sudah berlangsung sekitar tiga bulan. Mereka meminta, pemerintah mencabut perizinan tambang emas perusahaan yang berkantor pusat di Kapuk Pulo, Jakarta ini.

Pada siang itu pembubaran aksi warga oleh polisi terjadi.  Akibatnya, dua warga terkena tembakan, masing-masing, Leri Sumolang (di pantat) dan Nautri Marentek (di lengan). Iswadi ditahan polisi.

Juni 2012

Para relawan bakar diri yang sedang aksi di Gedung DPRD Riau. Foto: Ahlul Fadli

Awal  Juni, dihebohkan kabar  10 warga Pulau Padang ingin bakar diri. Mereka protes karena tuntutan tak digubris pemerintah. Tuntutan mereka, pemerintah merevisi SK 327, izin hutan tanaman industri (HTI) kepada PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti.

Mereka telah mengirimkan surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lagi-lagi tak ada tanggapan. Pada 25 Juni 2012, Serikat Tani Riau (STR) pun akan aksi bakar diri di depan Istana Negara Jakarta.

Kejadian tak kalah miris terjadi di Padang Halaban, Kecamatan Aek Natas, Sumatera Utara (Sumut), 4 Juni 2012. Puluhan petani diamankan polisi, satu warga tertembak karena berkonflik dengan perusahaan sawit raksasa, PT Smart Tbk, anak usaha Sinas Mas.

Polisi yang bersenjata lengkap total menangkap 60 orang petani dan membawa ke Polres Labuhan Batu memakai tiga truk Dalmas. Mereka ditangkap paksa dengan disisir dari rumah ke rumah sampai menyerahkan diri tanpa perlawanan. (bersambung)


Kaleidoskop Konflik Agraria 2012: Potret Pengabaian Suara dan Hak Rakyat (Bagian 1) was first posted on December 26, 2012 at 9:02 pm.

Kaleidoskop Konflik Agraria 2012: Potret Pengabaian Suara dan Hak Rakyat (Bagian 2)

$
0
0

KONFLIK-konflik agraria atau sumber daya alam (SDA) makin parah. Ketidakjelasan tata ruang termasuk penetapan kawasan hutan, sampai sikap pemerintah yang seakan membiarkan konflik, makin memperburuk keadaan. Perusahaan-perusahaan masuk ke wilayah-wilayah berpenghuni milik masyarakat adat atau lokal. Konflik antar warga, warga-perusahaan, warga-pemerintah, pun muncul. Masyarakat menjadi pihak yang paling banyak menanggung rugi.

Gesekan-gesekan berujung konflik pun terjadi. Sederet konflik SDA menyebabkan kerugian harta dan jiwa terjadi hingga penutup tahun ini. Data Walhi, menyebutkan, pada 2011, ada 8.307 kasus konflik agraria, 4302 kasus dinyatakan telah selesai.

Paling banyak konflik terjadi di Sumatera Barat 883 kasus, di Sulawesi Selatan 780, Jawa Barat 749, Jawa Tengah 532, Bali 515, Jawa Timur 400, Nusa Tenggara Timur 335, Sumatera Utara 331, Banten, 324, dan Kalimantan Timur 242 kasus. Berikut kami sajikan cuplikan sebagian kecil konflik agraria yang terjadi tahun ini.

Juli 2012

Petani Ogan Ilir kala aksi di BPN Jakarta. Anwar Sadath, koordinator lapangan mengatakan, perjuangan petani sejak dulu dilakukan dengan cara-cara damai. Namun, banyak yang berusaha melakukan provokasi dan pelemahan. Saat ini, terjadi bentrok antara petani dan polisi di Ogan Ilir, Walhi Sumsel, menduga, sebagai upaya mendiskreditkan warga. Foto: Sapariah Saturi

Potret konflik lahan pada bulan ini, diawali aksi sekitar 600 an petani dari Kebupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel) yang datang ke Jakarta, mencari keadilan. Sejak tahun 1980 an tanah mereka diambil paksa dengan kekuatan militer kebun PTPN IV unit Cinta Manis.

Ke Jakarta, mereka membawa surat, BPN Sumsel yang menyatakan, areal PTPN VII di Ogan Ilir yang mempunyai hak guna  usaha (HGU) hanya 4.881, 24 hektare (ha). Izin prinsip mereka seluas 20 ribu ha. BPN tak akan memproses HGU  sebelum ada penyelesaian klaim dari masyarakat.

Surat yang menguatkan posisi warga juga keluar dari Gubernur Sumsel, 15 Juni 2012. Dalam surat yang ditandatangani Wakil Gubernur Sumsel, Eddy Yusuf ini meminta lahan PTPN VII yang telah diterbitkan HGU di unit usaha Cinta Manis agar dievaluasi. Lahan PTPN VII yang belum terbit HGU agar dikembalikan ke masyarakat. Dalam surat itu, Gubernur meminta agar Kementerian BUMN memperhatikan tuntutan para petani.

Sayangnya, setelah aksi dan berdialog di berbagai lembaga, seperti BPN, Mabes Polri, kesepakatan dengan Kementerian BUMN dan manajemen PT PN IV tak diperoleh. Warga pun pulang ke kampung dengan tangan hampa.

Masih di Sumatera, pada 11 Juli 2012, warga Desa Seunebok Lapang dan Desa Tualang Pateng, Kecamatan Peureulak Timur, Aceh Timur, menduduki kebun sawit PT Padang Palma Permai di Desa Blang Simpo. Aksi pendudukan kebun itu mereka lakukan sejak 1998. Namun, sampai saat ini belum ada kejelasan baik dari perusahaan maupun Pemerintah Aceh Timur.

Danau Rano, salah satu obyek wisata di sana juga masuk kawasan konsesi PT CMA. Foto: Jatam Sulteng

Konflik berdarah terjadi pada 18 Juli 2012. Warga menolak rencana eksploitasi tambang emas, PT Cahaya Manunggal Abadi (PT CMA) di Desa Balaesang Tanjung, Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng). Berujung, dua alat berat perusahaan dibakar. Rabu(18/7/12), polisi menelusuri desa untuk menangkap pelaku pembakaran. Warga menolak ditangkap. Lagi-lagi polisi mengandalkan peluru timah untuk menghadapi warga. Lima orang tertembak.

Begitu banyak konflik agraria, Presiden SBY membahas masalah ini dalam Sidang Kabinet Terbatas di Kejaksaan Agung, Rabu(25/7/12). SBY mengatakan, mendapatkan banyak aduan terkait persoalan pertanahan di tanah air. Aduan konflik lahan seperti tumpang tindih lahan datang hampir setiap minggu melalui surat atau pesan singkat.

Penanganan konflik lahan,  tidak semata-mata tugas kepolisian. Koordinasi dan sinergitas dengan BPN harus berlangsung baik. Selain itu, perangkat daerah seperti bupati atau camat dan semua jajaran harus bisa berkoordinasi untuk mencegah konflik.

SBY menyoroti seringkali pada kasus tertentu saat terjadi kekerasan horizontal di lapangan, kepolisian tidak mengambil tindakan cepat dan tuntas.

Sayangnya, omongan SBY tampaknya tak berarti apa-apa buat para pembantu dan aparatnya. Sebab, selang dua hari dari SBY pidato, konflik berdarah kembali terjadi di Ogan Ilir. Konflik PTPN VII unit Cinta Manis dan warga petani, memakan korban jiwa. Pasukan Brimob, 27 Juli 2012 datang menyisir ke kampung-kampung warga di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel). Bentrok warga dan polisi terjadi di Kampung Limbang Jaya menyebabkan,  satu anak tewas tertembak, lima warga luka-luka.

Kala itu, kondisi di sekitar PTPN VII unit Usaha Cinta Manis, mencekam. Aparat kepolisian menyisir ke Desa Lubuk Keliat, dan sempat  menangkap warga,  lalu dilepas. Penyisiran dilanjutkan ke Desa Betung ketika sejumlah warga sedang shalat Jumat.

Penyelusuran ke kampung-kampung berlanjut. Desa Sri Kembang.  Sekitar pukul 16.00, pasukan Brimob menyisir Desa Tanjung Pinang menuju Desa Limbang Jaya. Ratusan Brimob membawa senjata lengkap mengendarai sedikitnya tujuh truk kembali mendatangi Desa Limbang Jaya.

Agustus 2012

Di Sulawesi Tengah (Sulteng),  pada, 6 Agustus 2012,  puluhan petani yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat, berunjukrasa di kantor DPRD Sulteng di Palu.

Sebanyak 18 organisasi yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR)  melihat konflik agraria yang terjadi disebabkan monopoli atas tanah yang dilakukan perusahaan perkebunan, tambang skala besar maupun institusi negara seperti Perhutani, perkebunan negara dan taman nasional.

Salah satu perusahaan yang tengah berkonflik dengan warga, PT Hardaya Inti Plantations, perusahaan milik Hartati Murdaya.  Pada aksi itu, mereka mendesak pembebasan 13 petani antitambang yang masih  ditahan Polres Donggala karena demo hingga memakan korban jiwa beberapa minggu yang lalu lalu. Termasuk juga mendesak agar perluasan tambang di Kecamatan Dondo, Kabupaten Tolitoli dihentikan.

Di Riau, Konflik antara warga desa akibat bersengketa dengan perusahaan hutan tanaman industri PT Sumatera Riang Lestari di Pulau Rupat, memasuki babak baru. Pada 28 Agustus, mediasi sengketa lahan digelar di Kantor Mapolres Bengkalis dan dipimpin langsung Kapolres Bengkalis, AKBP Tony Ariadi Effendi.

Setidaknya 35 peserta mewakili unsur masyarakat, perusahaan, polisi dan pemerintah kabupaten hadir dalam upaya mediasi ini.Dalam notulensi rapat sepanjang empat halaman itu, salah seorang perwakilan masyarakat bernama Sugianto dengan tegas menolak keberadaan PT SRL di Pulau Rupat dan lahan masyarakat dikeluarkan dari konsesi PT SRL.

Yusrizal, Camat Rupat mengakui di Desa Pergam dan Desa Mesim memang mempunyai lahan yang dikelola kelompok masyarakat seluas 4.500 hektar dan perorangan seluas 1.000 hekta, masuk dalam konsesi PT SRL. Dari perwakilan PT SRL berargumen, mereka bekerja di Pulau Rupat sesuai arahan bupati.

Dari rapat yang berlangsung selama tiga jam ini disepakati akan dibentuk tim survei dan verifikasi ke Lapangan. Tim mulai bekerja sejak rapat mediasi ini dimulai. Tugas utama tim melakukan pendataan lahan sengketa antara perusahaan dan masyarakat.

September 2012

Awal September ini, beberapa petani datang ke Jakarta, dengan niat mencari jalan agar lahan mereka tak dicaplok tambang. Aksi sudah dilakukan di Desa Sukadamai Baru, Sungai Lilin, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel), tetapi perusahaan terus melaju.  Akhirnya, mereka mengadu ke Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Tanah desa dan kebun mereka terancam dengan kehadiran PT. Tigadaya Minergi (TDM). Mereka diintimidasi.  Terteror dengan mobilisasi kepolisian dan TNI yang dilakukan perusahaan dan kaki tangan guna melancarkan realisasi tambang itu.

Buldoser yang digunakan perusahaan untuk menggusur lahan adat di Muara Tae, Kutai Barat, kalimantan Timur. Foto: Margaretha Beraan/AMAN Kaltim

Di Kalimantan Timur, konflik antara warga Desa Muara Tae dan PT Munte Waniq Jaya Perkasa (MWJP), yang sudah berlangsung lama, kembali memanas. Pada 22 September 2012, warga menahan kunci buldozer untuk menghentikan penggusuran lahan.

Perusahaan sawit ini seolah tak peduli atas penolakan warga. Mereka tetap saja menggusur lahan masyarakat sekitar.  Beragam cara dilakukan warga untuk menghentikan operasional perusahaan ini. Mereka berusaha mencari kata sepakat atau penyelesaian konflik ini.  Warga telah melapor sampai ke Kapolda Kaltim.

Menurut dia, beberapa kali mereka mengirim surat penolakan dan mencoba menemui manajer umum perusahaan, tetapi tak pernah berhasil. “Jadi kami melihat tidak ada niat baik ikut menyelesaikan permasalahan ini.”

Pada 29 September 2012, tindakan represif aparat kepolisian Polres Batang menyebabkan luka-luka pada beberapa warga di sana. Komnas HAM pun turun menyelidiki kasus ini.

Peristiwa bermula ketika warga Karanggeneng, pada hari itu melihat ada mobil Toyota Kijang Innova dikendarai Khalis Wahyudi (38 tahun) warga asal Jepara dan berpenumpang 1 orang Warga Negara Asing (WNA) asal Jepang bernama Satoshi Sakamoto (58 tahun) asal dari PT. Sumi Tomo Corporation datang ke lokasi yang akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk survei. Beberapa warga mencoba menemui dan mengajak Satoshi Sakamoto dan Khalis Wahyudi ke rumah salah satu warga desa Ponowareng yakni Casnoto.

Sekitar pukul 15.00 WIB, Polsek Tulis berusaha mengevakuasi orang Jepang  ini. Namun, melihat warga dengan jumlah banyak maka Polsek Tulis berusaha meminta tambahan personel anggota polisi.

Sekitar pukul 16.30 datang kurang lebih sekitar ratusan anggota Dalmas dan Brimob dari Polres Pekalongan ke Desa Ponowareng. Kedatangan ratusan Brimob itu ternyata ditumpangi puluhan orang yang tidak dikenal dan dilengkapi senjata tajam. Mereka langsung melempari para warga yang sedang berkumpul. Akhirnya, terjadi kekerasan, beberapa warga mengalami luka-luka.

Aksi Warga menolak pembangunan PLTU. Foto: Tommy Apriando

Oktober 2012

Awal bulan ini diwarnai  aksi warga Batui, Desa Honbola, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng) menduduki proyek Donggi Senoro LNG. Aksi itu ekspresi permasalahan yang ditimbulkan dampak pembangunan Donggi Senoro Liquid Natural Gas (LNG) di wilayah hilir, yang meminggirkan warga sekitar melalui menipulasi pembayaran tanah, dan kongkalikong para spekulan dengan pemrakarsa proyek.

Ada kurang lebih 300 ratusan hektare tanah warga menjadi areal tapak projek Kilang LNG yang dirampas melalui pembayaran fiktif, bervariatif, murah dan cenderung salah sasaran.

Donggi Senoro LNG juga melakukan pembohongan publik dengan mengatakan proyek ini hampir rampung secara teknis dan siap operasi 2014. Padahal, investigasi Jatam Sulteng menunjukkan, masih ada kurang lebih 30 hektare tanah dari sekitar 300 hektare yang belum dibayarkan. Lalu, sekitar 80 warga merasa mendapatkan ketidakadilan dari proses pembayaran tanah yang manipulatif.

Lahan warga di Desa Sinorang, yang diklaim sudah dilepaskan untuk proyek Donggi senoro LNG tanpa sepengetahuan warga. Foto: Jatam Sulteng

Di Sumatera Utara (Sumut), Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, makin memanas. Sampai Kamis(18/10/12), warga masih siaga dan terus berjaga-jaga, baik di sekitar wilayah masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta maupun di Tombak Haminjon (hutan kemenyan).

Konflik tapal batas tanah adat dengan PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) terjadi sejak 2009. Pemetaan hutan adat sudah dilakukan dan lewat penetapan pansus DPRD telah disampaikan ke Kementerian Kehutanan. Namun, sampai sekarang belum ada kabar.  Status belum jelas, perusahaan terus menebang dan membuka hutan yang menyebabkan protes warga.

Keadaan memanas dipicu pernyataan Kapolres Humbang Rabu(10/10/12)  yang mengancam akan menangkap paksa delapan warga yang diduga terlibat bentrok dengan kepolisian dan PT TPL. Warga panik dan bersiap-siap menghadang polisi. Masyarakat berkumpul dan menjaga kampung, dari anak-anak sampai orangtua. Masyarakat adat sejak awal minta penyelesaian dengan hukum adat

Masih di Sumut, pada pertengan Oktober, perwakilan masyarakat Buol, Sulawesi Tengah (Sulteng) datang ke Jakarta, untuk menagih janji. Mereka menuntut kepastian pengembalian lahan masyarakat setelah hampir 20 tahun dikuasai perusahaan sawit milik pebisnis papan atas di Indonesia, Sri Hartati Murdaya: PT Hardaya Inti Plantations (PT HIP). Kini, sang big boss mendekam dalam tahanan KPK karena menjadi tersangka kasus suap izin perluasan kebun sawit di kabupaten yang sama.

Pada hari yang sama, 15 Oktober, di Buol, ribuan warga aksi menuntut pengembalian lahan mereka yang diambil paksa perusahaan. Menurut warga, kepemilikan lahan dari awal diperoleh dengan cara-cara curang, intimidasi dan kekerasan. Pada 1993, PT HIP banyak melanggar dan menggusur kebun produktif warga di Kecamatan Bokat dan Momunu—saat ini dimekarkan menjadi tiga kecamatan: Momunu, Tiloan dan Bukal.

Protes dan warga terhadap perusahaan kembali terjadi. Suara dan teriakan mereka tak diindahkan, amuk warga pun pecah.  Ini terjadi di Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara (Sumut), 29-30 Oktober 2012, aksi warga berakhir rusuh. Warga sejak awal menolak pemasangan pipa limbang tambang emas PT Agincourt Resources di Sungai Batangtoru. Warga khawatir pipa akan mencemari sungai yang menjadi tumpuan sumber air sekitar 25 desa di tiga kecamatan

Hampir semua warga memanfaatkan aliran Sungai Batangtoru, untuk berbagai keperluan rumah tangga dan pengairan pertanian. Penolakan warga wajar dan realistis. Sayangnya, teriakan kekhawatiran rakyat bak angin lalu.

Warga kesal. Perusahaan justru dikawal ratusan aparat Kepolisian dan TNI, dengan memaksakan kehendak melanjutkan pemasangan pipa. Amuk warga terulang setelah sempat terjadi Juni lalu. Aksi warga pada Senin (29/10/12), diantisipasi aparat. Demo hari kedua, Selasa(30/10/12), terjadi amuk massa, setidaknya satu mobil di bakar dan empat mobil dirusak.

November 2012

Penolakan warga Buol kembali terulang.  Ratusan petani dari Kecamatan Bukal, Momunu dan Tiloan, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah (Sulteng), kembali menghadang dan melarang kendaraan-kendaraan pengangkut crude palm oil (CPO)  milik perusahaan Hartati Murdaya, PT Hardaya Inti Plantations (HIP) sejak 2 November 2012.

Penutupan akses kendaraan CPO ini sebagai protes tindakan perusahaan yang dinilai mengingkari kesepakatan kedua belah pihak pada 16 Oktober lalu.

Sudarmin Paliba, Direktur Eksekutif Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wanalestari, Buol, Sulteng mengatakan, pengingkaran kesepakatan oleh perusahaan bukanlah kali pertama. Sebab, setiap kesepakatan yang dibuat sejak 2000, selalu tidak dilakukan oleh perusahaan.

Aksi tenda warga Jambi di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Pertengahan bulan ini konflik petani Jambi dengan beberapa perusahaan dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut), kembali menghangat. Warga yang tak mendapatkan kepastian, nekad ke Jakarta. Mereka bertenda di Gedung DPR, tetapi digusur. Lalu, mulai 19 November 2012, mereka ‘membuka kampung’ di depan kantor Kemenhut.

Warga datang menagih janji kepada Kemenhut sesuai pertemuan 16 Desember 2011 untuk mengeluarkan lahan warga dari konsesi perusahaan. Dalam pertemuan yang  dihadiri Sekretaris Jenderal Kemenhut, Hadi Daryanto ini, disepakati lahan warga akan dikeluarkan dari konsesi perusahaan, dengan persyaratan pemetaan wilayah dan inventarisasi warga. Saat kembali ke Jambi, pemetaan melibatkan pemerintah daerah, perusahaan pun dibuat berikut inventarisasi warga.

Di Gorontalo.  Warga Desa Bubode, Kecamatan Tomilito, Kabupaten Gorontalo Utara, menolak kehadiran perusahaan hutan tanaman industri (HTI), PT Gema Nusantara Jaya, yang mencaplok lahan warga. Wargapun membuat dukungan lewat tanda tangan dan mendatangi kantor DPRD Kabupaten Gorontalo Utara, 12 November  2012.

Di DPRD, warga mengungkapkan  perusahaan berupaya memecahbelah antar masyarakat. Bahkan, PT GNJ diduga menyewa preman dan menakut-nakuti masyarakat.  Meskipun ditakut-takutii dengan preman dan militer, masyarakat tetap menolak HTI. “Alhasil,  sekitar delapan warga dilaporkan perusahaan ke kepolisian pada minggu sebelumnya. Mereka dituduh merusak tanaman perusahaan.

Desember 2012

Pada 12 Desember 2012, ratusan petani Jambi aksi jalan kaki (long march) dari Jambi ke Jakarta. Aksi jalan kaki itu diperkirakan menempuh jarak kurang lebih 1000-an kilometer.

Petani memulai aksi jalan kaki ini dari depan Kantor Dinas Kehutanan (Dishut) Jambi. Lalu, petani berjalan kaki dengan berbaris rapi melalui 20-an kota di sepanjang Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, dan Banten.

Ada pun tempat-tempat yang akan dilalui petani, seperti Simpang Tempino, Banyu Lincir (Sumsel), Sungai Lilin (Sumsel), Betung (Sumsel), Palembang (Sumsel), Ogan Komering Ulu (Sumsel), Ogan Komering Ilir (Sumsel), Mesuji (Lampung), Tulang Bawang (Lampung), Pesawaran (Lampung), Bandar Lampung (Lampung), Kalianda (Lampung), Bakauheni (Lampung), Merak (Banten), Cilegon (Banten), Serang (Banten), Tangeran (Banten) dan Jakarta.

Dalam perjalanan, beberapa petani mengalami kecelakaan.  Aksi ini masih dalam satu rangkaian protes petani meminta lahan mereka dikeluarkan dari konsesi perusahaan. Sebagian petani sudah aksi di Jakarta dan kini masih tinggal di tenda di depan Kementerian Kehutanan.

Aksi petani Jambi di Jakarta, dengan tenda di depan Kemenhut, tampaknya akan menjadi penutup dan pembuka tahun baru. Semoga saja, ini bukan petanda pemerintah akan terus mengabaikan suara warga di tahun-tahun mendatang. (Habis)

 


Kaleidoskop Konflik Agraria 2012: Potret Pengabaian Suara dan Hak Rakyat (Bagian 2) was first posted on December 27, 2012 at 11:53 pm.

Ratusan Warga Gorontalo Blokir Tumpukan Kayu Perusahaan Sawit

$
0
0

Bibit sawit. Ekspansi kebun sawit banyak mendapat penolakan warga karena mereka sudah banyak melihat fakta di lapangan begitu banyak konflik sosial dan masalah lingkungan dengan masuknya perusahaan ini.

Seratusan warga di Desa Dudewulo, Kecamatan Popayato Barat,  menolak perusahaan sawit, dengan memblokir logpond (penumpukan kayu). Warga yang mengatasnamakan Forum Rakyat Merdeka Pohuwato ini, berhasil memaksa alat berat milik perusahaan keluar dari desa itu.

“Sampai saat ini logpond kami blokir dan masyarakat masih berjaga-jaga di batas desa. Jangan sampai perusahaan sawit masuk lagi,” kata Arlin Kaluku, Ketua Forum Rakyat Merdeka Pohuwato, kepada Mongabay, Jumat (28/12/12).

Pada Jumat dini hari, pos perlawanan yang dibangun warga, dibakar orang tak dikenal. Namun, perlawanan masyarakat tetap berlanjut meski ada yang sengaja memancing konflik.

Menurut Arlin, perlawanan masyarakat terhadap investasi sawit sejak 2007. Kala itu, pemerintah Kabupaten Pohuwato, sosialisasi rencana tata ruang kabupaten yang akan memberikan peluang kepada investor sawit. “Masyarakat sudah sadar rencana ini mengancam kehidupan mereka karena dampak perkebunan terhadap lingkungan dan hutan.”

Namun, karena kekuasaan modal, perusahaan sering menggunakan kekuatan militer dalam meredam masyarakat. Bahkan, pada 24 Agustus 2012, kepolisian Brimob Polda Gorontalo, terlibat aksi kejar-kejaran dengan warga penolak sawit. Empat hari sebelum itu, warga membakar pos Brimob di Kilometer 16.

“Kami menolak kehadiran pasukan bersenjata, sampai saat ini masih di desa kami. Ini menakut-nakuti dan menciptakan keresahan,” ucap Rasyid Umar, warga Dudewulo.

Menurut Rasyid, masyarakat kaget karena alat berat perusahaan yang sudah mendapat izin pemanfaatan kayu (IPK) masuk wilayah mereka dan mulai menebang. Pembukaan kawasan dengan membabi buta, sebagian besar mata air mati, anak sungai ditimbun dengan kayu dan tanah. Bukit-bukit dibersihkan dan diratakan. “Akibat langsung Sungai Popayato cabang kanan mati, setiap hujan ]lumpur turun ke Sungai Popayato.”

PT Sawit Tiara Nusa, satu perusahaan sawit di Pohuwato memberikan kontrak land clearing kepada PT Jaya Anugerah Delima Emas, awal 2012 mengantongi izin IPK dari Dinas Kehutanan Gorontalo.

Perusahaan IPK yang menebang itu, kata Rasyid, sebelumnya tidak sosialisasi kepada masyarakat. Perusahaan sosialiasi hanya mengundang tokoh-tokoh masyarakat yang mereka pilih. Akibatnya, perlawanan makin menjadi-jadi. Karena penolakan itu, hampir setiap kali masyarakat terlibat bentrok dengan Brimob Polda Gorontalo. “Sampai saat ini, kami tetap tidak percaya dengan perusahaan dan menolak serta menolak penggunaan logpond eks HPH di desa kami.”

Menurut Arlin dan Rasyid, 2011 hingga 2012, Menteri Kehutanan memberikan izin pelepasan kawasan hutan produksi menjadi hutan konversi untuk perkebunan kepada PT Sawindo Cemerlang, PT Sawit Tiara Nusa, PT Inti Global Laksana, dan PT Banyan Tumbuh Lestari, dengan luas 53.000 hektar. Kawasan hutan ini terdiri dari Kecamatan Popayato Barat, Popayato, Popayato Timur, Lemito, Wanggarasih, dan Taluditi.

Jhoni Nento, Kepala Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi Kabupaten Pohuwato, menjelaskan, perusahaan perlu sosialisasi berkesinambungan agar warga merasa dilibatkan. Apalagi, banyak warga belum paham sawit, hingga pemerintah daerah dan perusahaan harus terus sosialisasi. “Terkaitpenolakan warga, itu sah-sah saja di alam demokrasi seperti saat ini. Saya rasa masih wajar masyarakat punya pandangan lain.”


Ratusan Warga Gorontalo Blokir Tumpukan Kayu Perusahaan Sawit was first posted on December 28, 2012 at 12:50 pm.

Konflik Agraria 2012, Ratusan Petani Ditahan dan 25 Tertembak

$
0
0

Petani Ogan Ilir kala berdemo ke Jakarta, awal Juli 2012. Mereka meminta pengembalian lahan yang dicaplok PTPN IV sejak 1980-an. Foto: Sapariah Saturi

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, dalam tiga tahun konflik agraria terus meningkat. Tahun ini, terjadi 198 kasus, dengan areal konflik 963.411 hektar, melibatkan 141.915 keluarga. Angka ini, melesat dari 2011, sebanyak 163 kasus, dengan 22 warga tewas dan 2010, sebanyak 106 konflik.

Idham Arsyad Sekretaris Jenderal KPA dalam laporan akhir tahun, mengatakan, catatan kriminalisasi dan kekerasan petani sepanjang tahun ini, 156 petani ditahan, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 tertembak, dan tercatat tiga orang tewas.

Dari 198 kasus ini, katanya, sekitar 90 kasus di sektor perkebunan (45%); 60 sektor pembangunan infrastruktur (30%); 21 sektor pertambangan (11%); 20 sektor kehutanan (4%). Lalu, lima sektor pertanian tambak atau pesisir (3%) dan dua sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai (1 %).

Konflik-konflik ini, tersebar di 29 provinsi. Terbanyak di Jawa Timur 24 kasus dan Sumatera Utara 21 kasus. “Disusul, Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatera Selatan masing-masing 13 kasus, Riau dan Jambi masing-masing 11 kasus, sisanya tersebar di provinsi lain di Indonesia,” katanya di Jakarta, Jumat(28/12/12).

Sementara itu, sejak 2004-2012, sepanjang pemerintahan SBY terjadi 618 konflik agraria di seluruh Indonesia, dengan areal 2.399.314,49 hektar. “Ada lebih dari 731.342 keluarga harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan,” ujar dia.

Keadaan ini, menjadi cerminan ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat, tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan militer dalam penanganan konflik maupun sengketa agraria. Konflik ini, kata Idham, melibatkan kelompok masyarakat petani dan komunitas adat yang mengakibatkan 941 orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, dan 63 luka serius akibat peluru aparat. “Korban meninggal 44 orang di wilayah-wilayah konflik itu selama periode 2004 – 2012.”

Menurut dia, konflik era SBY terus meningkat karena reforma agraria baru sebatas buku dan iklan kampanye.  “Tahun 2007, pemerintahan ini pernah berjanji reforma agraria lewat program pembaruan agraria nasional (PPAN). Faktanya, sampai sekarang belum memenuhi janji itu sebagaimana dimandatkan konstitusi UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria 1960.”

Pengamatan KPA, persoalan pelik agraria di Indonesia karena tumpang tindih UU berkaitan agraria dari pertanahan, hutan, tambang, perkebunan, mineral batu bara dan migas. UU ini, tidak mengacu kepada konstitusi UUD 1945 dan UUPA 1960.  “Akibatnya, terjadi tumpang tindih kewenangan di bidang agraria. Ini mengakibatkan tanah-tanah yang ditempati masyarakat, khusus masyarakat kecil di pedesaan dan pedalaman, jadi tidak terlindungi, rentan aksi-aksi perampasan tanah yang dilegalkan atas nama pembangunan dan investasi,” ucap Idham. Kondisi ini akhirnya mengakibatkan akses dan hak masyarakat terhadap tanah dan sumber-sumber agraria lain yang tersedia menjadi tertutup.

Parahnya, persoalan ini, alih-alih diselesaikan pemerintah dan DPR. Justru, dibuat berbagai regulasi yang malah berpotensi kuat menambah rumit tumpang-tindih perundang-undangan di negeri ini. “Seperti perumusan RUU Pertanahan dan RUU Hak-hak Atas Tanah.”

Tahun 2012, DPR mengesahkan operasionalisasi UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, yang diusulkan pemerintah. Lalu, dibuat Perpres 71/2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Lewat dua kebijakan ini, pembebasan tanah dalam skala luas untuk kepentingan pembangunan infrastruktur dan investasi makin mulus dan cepat terlaksana. “Tidak mengherankan jika konflik agraria dalam proses pengadaan tanah untuk infrastruktur meningkat drastis sepanjang tahun ini,” katanya.

Tak hanya itu, sepanjang 2012 Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal-pasal dalam UU sektoral yang dianggap bertentangan dengan konstitusi seperti UU Kehutanan dan UU Migas. Tahun ini pula, terdapat kebijakan pertanahan cukup menarik perhatian, yakni pergantian Kepala BPN, dari Joyo Winoto kepada mantan Jaksa Agung Hendarman Supandji.

Sejak awal, KPA ragu terhadap kapasitas dan komitmen Kepala BPN baru dalam menyelesaikan persoalan-persoalan pelik agraria. “Keragauan ini terbukti. Karena sampai sekarang BPN makin menjauh dari usaha sungguh-sungguh menjalankan redistribusi tanah kepada rakyat kecil dan penyelesaian konflik pertanahan.”

Selain itu, pelaksanaan PP No.11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang sempat diharapkan menjadi pemicu redistribusi tanah-tanah yang banyak diterlantarkan perusahaan-perusahaan berjalan bak siput. Sampai saat ini, dari 4.8 juta hektar tanah yang diindikasikan terlantar oleh BPN, baru 37.224 hektar ditetapkan sebagai tanah terlantar. “Belum sejengkal pun tanah-tanah itu diredistribusikan kepada rakyat melalui skema PP Tanah Terlantar ini.” Belum lagi,  penertiban hak guna usaha (HGU) perusahaan-perusahaan perkebunan baik swasta atau BUMN yang bermasalah dan diterlantarkan tetap tak tersentuh PP ini.

Farida, petani Ogan Ilir yang berkonflik dengan PTPN IV Unit Cinta Manis, menunjukkan proyektil peluru. Dia terkena tembak di pundak kanan. Foto: Sapariah Saturi

Konflik  dan Agraria

Begitu banyak kekeliruan dalam pemberian izin, konsesi dan hak atas tanah kepada perusahaan, dan menimbulkan konflik agraria, tetapi pemerintah seakan sulit merevisi meskipun secara hukum mereka sangat berwenang melakukan. Mengapa? “Ini bukan semata-mata karena alasan memberikan kepastian hukum dalam investasi, apalagi soal ketakutan akan digugat balik perusahaan. Kenyataan ini mengindikasikan kuat selama ini pemberian izin dan konsesi telah berjalinan erat dengan perilaku birokrat dan penguasa politik yang korup,” kata Idham.

Dia mencontohkan, penangkapan Bupati Buol karena terbukti menerima suap dan pengusaha Hartati Murdaya yang ditahan KPK. Hartati didakwa menyuap dalam pengurusan rekomendasi HGU perkebunan sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. “Fakta ini fenomena gunung es. Bahwa selama ini penguasa begitu mudah memberikan tanah-tanah dalam skala begitu luas kepada pengusaha.”

Keadaan ini, seharusnya mendorong KPK, kepolisian dan kejaksaan mulai berkomitmen menjalankan reforma agraria. Caranya, dengan meneliti sungguh-sungguh wilayah-wilayah yang selama ini dilaporkan mengalami konflik agraria dan mengaitkan dengan kejahatan korupsi. Terlebih, survei integritas KPK tahun 2012 memperlihatkan Kementerian Kehutanan dan BPN dalam posisi paling buruk.

Untuk itu, diharapkan, di sisa dua tahun pemerintahan konflik agraria bise selesai dan mempercepat realisasi redistribusi tanah-tanah terlantar kepada rakyat.  KPA pun merekomendasikan beberapa hal.  Pertama, jika sungguh-sungguh ingin mengakhiri konflik agraria selama ini, Presiden SBY harus dapat mengakhiri ego sektoral. Caranya, dengan memanggil dan mengumpulkan semua kementerian serta lembaga pemerintahan terkait konflik agraria seperti Kepala BPN, Kemenhut, Kemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kemendagri, Kementerian BUMN.

Kedua, Presiden mengeluarkan Perpres untuk membentuk unit atau kelembagaan penyelesaian konflik agraria. Unit ini bertugas mengkoordinir kementerian terkait penyelesaian konflik agraria di semua sektor.

Ketiga, lembaga ini menerima laporan pengaduan dan mengambil keputusan penyelesaian konflik agraria, bersifat mengikat semua pihak, dengan prinsip pemulihan dan keadilan bagi seluruh pihak, khusus para korban konflik.

Petani Jambi yang menuntut pengeluaran lahan dari wilayah konsesi perusahaan. Kini, mereka aksi tenda di depan Kementerian Kehutanan di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Pengelolaan SDA Buruk

Tak hanya KPA, ICW, WWF, TII dan Kehati, pun menilai, sampai penghujung 2012, kebijakan pemerintah terhadap tata kelola yang baik (good governance) dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup masih jauh dari memuaskan.

Natalia Soebagjo, Sekjen Transparency International Indonesia mengatakan, tata kelola SDA yang belum berpijak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan mengakibatkan jarak antara masyarakat lokal dengan alam sekitar meningkat. Distribusi dan pemanfaatan SDA yang belum merata juga menyebabkan masyarakat, termasuk masyarakat adat menjadi penonton.

Pemerintah, menetapkan target penetapan hutan desa 300 ribu hektar dan hutan kemasyarakatan 1,2 juta hektar pada 2010-2012.  Namun, hingga November 2012 hanya 102.987 hektar hutan desa dan 187.516 hektar hutan kemasyarakatan ditetapkan. Prosedur perizinan rumit dan kurang terbuka ditengarai menjadi penyebab utama.

Survei integritas KPK menunjukkan, Kementerian Kehutanan dengan indeks integritas terendah lingkup pemerintah pusat.  “Jadi, mendesak perbaikan sistem perizinan di Kementerian Kehutanan. Keterbukaan informasi perlu ditingkatkan. Tidak cukup diterjemahkan dengan menyediakan website, tapi lebih utama bagaimana kualitas dan kuantitas informasi secara terbuka disediakan ke publik,” katanya dalam pernyataan kepada media, Kamis(27/12/12).

Dia mencontohkan, penting bagi Kemenhut, menyatakan terbuka bagaimana proses perencanaan manajemen kehutanan di pusat. “Baik rencana kerja tahunan yang terkordinasi dengan pengelolaan anggaran, publikasi penggunaan bahan baku untuk kebutuhan industri pulp dan kertas, dan informasi penting lain.”

Efransjah, CEO WWF Indonesia menambahkan, putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 yang menegaskan proses pengukuhan harus membangkitkan sense of crisis kawasan hutan Indonesia. Terlebih baru sekitar 12 persen penetapan kawasan hutan Indonesia.“Kemantapan tatabatas kawasan hutan prasyarat mendasar kelestarian. Karena itu, upaya percepatan pengukuhan kawasan hutan yang diinisiasi KPK, UKP4, Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan, dan berbagai kementerian atau lembaga negara terkait perlu didukung.”

Deforestasi, memang mengalami penurunan beberapa tahun terakhir. Namun, deforestasi selama ini telah mengubah signifikan hutan produksi. “Hingga kawasan konservasi dan hutan alam yang tersisa menjadi benteng terakhir yang perlu diselamatkan.”

Dia menegaskan, perlunya pemantapan tatabatas kawasan hutan dan, moratorium pemberian izin baru mutlak diteruskan. Selain itu, pengelolaan sumberdaya alam hayati, baik di darat mau pun di laut tidak mungkin monopoli pemerintah. Untuk itu, keterlibatan berbagai pihak, terutama masyarakat setempat dan masyarakat adat  maupun civil society organisation (CSO) sangat penting.

MS Sembiring, Direktur Kehati, mengatakan, pemerintah dan komunitas donor perlu senantiasa memberikan dukungan terhadap CSO. “CSO sangat signifikan mewarnai diskursus good governance dan clean government sektor SDA.”

2013 Krusial

Tahun 2013 akan menjadi tahun krusial bagi pengelolaan sumberdaya alam Indonesia. Setidaknya 110 kepala daerah akan berganti pada 2013. Selain itu, tahun depan akan menjadi tahun konsolidasi menuju Pemilu 2014.

Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, secara empirik, setahun menjelang hingga setahun setelah pemilihan kepala daerah akan meningkatkan frekuensi penerbitan izin konversi hutan. “Ditambahkan konsolidasi partai politik menjelang pemilu 2014, korupsi sektor sumberdaya alam khusus perizinan pada 2013 ditengarai meningkat tajam,” katanya.

Menurut dia, terbukti korupsi memiliki korelasi dengan deforestasi. Karena itu, memberantas korupsi sektor kehutanan sekaligus menjadi upaya mengurangi deforestasi di Indonesia.

Lembaga-lembaga ini menilai, sampai 2012, menunjukkan praktik monopoli dalam penguasaan SDA oleh kepentingan tertentu hingga mengakibatkan konflik agraria tinggi, seperti di Pulau Padang (Riau), Mesuji (Lampung), Cinta Manis (Sumsel), dan lain-lain. Kebijakan pro kapital (corporated-based) terbukti menimbulkan kerusakan SDA, kehilangan pendapatan negara tinggi bahkan memicu konflik baik vertikal maupun horisontal.  Untuk itu, tahun depan, pemerintah harus mengubah paradigma pengelolaan SDA menjadi lebih berkelanjutan, transparan, dan pro-rakyat (community-based).

Eksavator terlihat membuat kanal di hutan lahan gambut dalam konsesi PT Asia Tani Persada, penyuplai PT APP. Padahal, Indonesia tengah menjalankan aturan moratorium hutan dan gambut. Foto: Greenpeace


Konflik Agraria 2012, Ratusan Petani Ditahan dan 25 Tertembak was first posted on December 28, 2012 at 9:55 pm.

Pekerja Sawit PT BCA di Marauke Tuntut Kenaikan Upah

$
0
0

Sawit jadi komoditas andalan di negeri ini. Namun, masalah yang ditimbulkan juga menggunung, dari konflik dengan masyarakat sampai upah karyawan yang kerap dibayar rendah, seperti di PT BCA di Marauke, Papua. Foto: Aji Wihandardi

Masyarakat sekitar kebun sawit di Malind Bian, Kabupaten Marauke, Papua, tak hanya terjepit karena tanah dikuasai perusahaan. Mereka yang bekerja di kebun pun berpenghasilan rendah. Contoh di PT. Berkat Cipta Abadi (BCA), digaji rendah. Mereka berulangkali menuntut kenaikan upah, tetapi tak diindahkan hingga kini.

Melkias Basik-Basik, pekerja PT BCA mengatakan, mulai bekerja di perusahaan itu Juli 2012 sebagai tenaga borongan. “Kami mengeluh gaji terlalu kecil. Yang sudah lama bekerja saja baru Rp1, 922 juta.” Jumlah itupun dibayar sesuai hari kerja.  “Per hari dihitung  Rp62 ribu.” Untuk itu, karyawan meminta perusahaan menaikkan upah per hari sekitar 20 persen. “Mungkin bayaran bisa ditambah jadi Rp82 ribu per hari. Tapi belum ada tanggapan,” katanya, Selasa(8/1/2013).

Menurut dia, tuntutan kenaikan gaji kerap disuarakan kala pekerja pejabat pejabat perusahaan berkunjung ke lapangan. “Kami sudah usul berkali-kali saat kunjungan. Tapi, sampai sekarang, belum ada tanggapan,”  kata Paul Ndiken karyawan lain.

Paul mengungkapkan, ada tunjangan lain selain gaji tetapi dibayar jika karyawan bekerja lembur sebesar Rp400 per hari. Tak ada bonus..”Penggajian ini berlaku utuk mereka yang menyemprot sawit, membersihkan kelapa, dan menggerek buah.”

Ironisnya, rata-rata pemilik lahan bekerja sebagai pembersih dan penyemprot bibit sawit. Lainnya, menjolok buah sawit. Hanya dua orang pemilik lahan sebagai staf administrasi dalam kantor. Aktivis Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Agung Merauke, Nelis Tuwong mengatakan, bukan hanya gaji yang dibayar tak layak. Harga lahan warga per hektar pun rendah.  “Informasi terkait harga tak diberitahukan. Kesepakatan penggajian juga tak disampaikan.”

 

 


Pekerja Sawit PT BCA di Marauke Tuntut Kenaikan Upah was first posted on January 8, 2013 at 11:36 pm.

Preman Perusahaan Sawit Serang Warga Pahuwato, Delapan Luka-luka

$
0
0

Sawit, komoditas unggulan pendulang devisa di Indonesia, yang menciptakan banyak masalah saat beroperasi. Dari perusahaan hutan, sampai konflik sosial dengan masyarakat sekitar, seperti yang terjadi di Desa Dudewulo, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Foto: Sapariah Saturi

Konflik di perkebunan sawit Desa Dudewulo, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, memanas. Pos penolakan kebun sawit diserang sekelompok orang yang diduga preman perusahaan.  Delapan warga luka-luka serius.

Zainudin Lasimpala, korban penyerangan mengungkapkan, peristiwa bermula ketika warga sedang duduk-duduk di logpond atau pelabuhan kayu yang sudah menjadi posko penolakan sawit. Tiba-tiba sekitar 10 orang datang menaiki mobil Strada hitam milik perusahaan sawit langsung menyerbu.

“Kejadian sekitar pukul 14.30 sore. Mereka membawa parang dan langsung main tebas dan main pukul. Saya dipukul dan dikeroyok sampai jatuh di selokan,”  katanya kepada Mongabay, Kamis (31/1/13).

Zainudin menceritakan, dia kenal baik wajah para penyerang itu. Mereka terkenal sebagai preman yang tak jauh dari tempat mereka tinggal. Sedang mobil yang dikendarai milik perusahaan sawit PT. Tiara Nusa, yang biasa lalu-lalang di kawasan itu.

Akibat penyerangan itu, delapan warga mengalami luka-luka serius. Dari delapan korban itu, termasuk seorang anak kecil dan ibu rumah tangga ditendang. Bahkan Kepala Desa Butongale, Kismat Wakiden, patah tangan karena menghindari tabrakan mobil yang dikendarai para penyerang.

“Korban lain, Sudirman Langago kepala berdarah dan Rahman Pakaya dikeroyok. Yang lain juga ditebas parang namun beruntung masih terselamatkan,” kata Zainudin. Saat ini korban penyerangan dirawat di Pusat Kesehatan Masyarakat di Kecamatan Popayato Barat.

Sementara itu, Anshar Akuba, Ketua Yayasan Insan Cita Pohuwato, sebuah lembaga yang konsern di bidang lingkungan, mengecam tindakan perusahaan pemegang izin IPK, yakni PT Jaya Anugerah Delima Mas. Menurut dia, aksi brutal ini sangat tidak manusiawi dan mengusik kenyamanan masyarakat di Pohuwato.

“Kami sangat mengharapkan kepada kepolisian memberikan proteksi dan rasa kenyamanan warga dan mengusut tuntas kasus penyerangan warga yang didalangi oleh perusahaan IPK.”

Ketua Japesda Gorontalo, Ahmad Bahsoan, mengutuk penyerangan preman perusahaan terhadap masyarakat Desa Dudewulo. Aksi biadab preman yang disewa perusahaan ini, menunjukkan investasi sawit ke Gorontalo hanya akan membawa konflik berkepanjangan.

“Perusahaan membenturkan antara masyarakat penolak perkebunan sawit dengan masyarakat yang menerima. Dari awal sudah bermasalah, apalagi ke depan. Belum lagi masalah ekologi yang ditimbulkan,” kata Ahmad.

Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Pohuwato, AKP Zainal Hamzah, mengatakan, masih menyelidiki kasus penyerangan ini.“Kami masih di lapangan sedang lidik tentang kejadian itu.”

Di Kabupaten Pohuwato, terdapat enam perusahaan sawit yang sudah memiliki izin usaha perkebunan, yakni PT Wiramas Permai, PT Wira Sawit Mandiri, PT Banyan Tumbuh Lestari, PT Global Laksana, PT Sawindo Cemerlang, dan PT Sawit Tiara Nusa. Di desa Dudewulo, Kecamatan Popayato Barat, sudah ada dua perusahaan sawit masuk, yaitu PT Sawit Tiara Nusa dan PT Sawindo Cemerlang.

 

 


Preman Perusahaan Sawit Serang Warga Pahuwato, Delapan Luka-luka was first posted on February 1, 2013 at 12:20 am.

Perusahaan Sawit di Kalbar Tertangkap Kamera Pekerjakan Anak-anak

$
0
0

Pekerja anak yang sedang mengangkut bibit sawit di PT Sinar Sawit Andalan di Kalimantan Barat. Foto: Hovek

DERETAN persoalan investasi perkebunan sawit di Kalimantan Barat kian menggunung. Dari carut-marut perizinan, penolakan masyarakat adat, hingga proses pengerjaan kawasan yang melibatkan anak di bawah umur. Di Kecamatan Serawai dan Ambalau, Kabupaten Sintang, PT Sinar Sawit Andalan (SSA) tertangkap kamera video warga sedang mempekerjakan puluhan anak usia sekolah.  Video ini dipertontonkan di Pontianak, Rabu (6/2/13).

Hovek, warga Desa Kemangai, Kecamatan Embalau, Kabupaten Sintang, tak sengaja merekam para pekerja anak di perusahaan yang mengantongi izin lokasi seluas 20 ribu hektare itu. “Sebenarnya saya hanya ingin mengecek laporan warga soal enclave tanah adat yang masuk izin lokasi SSA,” katanya di Pontianak.

Setelah sampai di kamp perusahaan yang berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Desa Kemangai, dia menemukan fakta lain. Sekumpulan anak-anak tampak sedang bekerja mengisi tanah ke polybag berukuran 10 kilogram. “Saya rekam aktivitas mereka pakai kamera seadanya. Ada delapan anak dari 60-an anak yang bekerja di situ. Mereka sesungguhnya masih usia sekolah. Tapi sudah mendorong gerobak memindahkan polybag dari tempat pengisian tanah ke pembibitan. Anak-anak yang belum mampu mengangkat polybag 10 kg hanya bertugas mencabut rumput.”

Hovek tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Tumenggung Koordinator Serawai – Ambalau pada 1997 – 2011 ini mengajak mereka berbincang-bincang. Dari keterangan yang dihimpun, terungkap mayoritas pekerja anak dari Desa Kesange. Bangku sekolah terpaksa ditinggalkan. Orangtua mereka juga bekerja di perusahaan itu. Pekerja anak diupah Rp500 per polybag.

Sayangnya, dari tiga bulan masa pengabdian anak, upah tak kunjung datang. “Banyak di antara mereka memilih berhenti bekerja karena tidak menerima upah sebagaimana dijanjikan perusahaan. Perusahaan belum membayar sekitar 37 ribu polybag ke para pekerja anak itu,” ujar dia.

Coorporate Social Responsibility (CSR) Officer PT SSA, Yohanes, membantah perusahaan mempekerjakan anak di bawah umur. “Tak mungkin perusahaan pekerjakan anak-anak di kebun. Setiap bulan juga kita kirim laporan para pekerja ini ke Disnakertrans, termasuk untuk pengurusan Jamsostek, asuransi Sinarmas, dan lain-lain.”

Menurut Yohanes, umumnya anak-anak di perusahaan itu ikut orangtua mereka lantaran tidak ada orang yang menjaga di rumah. Bahkan, di Desa Begori, perusahaan sempat menjadikan salah satu rumah warga untuk menampung anak-anak yang ditinggal orangtuanya kerja di kebun. “Semacam TPA dan dikelola Pemerintah Desa, tapi penjaga dibayar perusahaan.”

Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAID) Kalbar Alik Rosyad mengatakan, ada sejumlah syarat bagi perusahaan yang mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Pertama, pekerjaan tidak boleh mengganggu sekolah anak. Jangan sampai hak anak untuk mendapatkan pendidikan terampas gara-gara dia bekerja. Kedua, masa kerja tidak boleh lebih dari empat jam. Ketiga, pekerjaan yang dilakoni tidak membahayakan bagi si anak.

“Anak-anak itu berhak mengenyam pendidikan. Karena itu, anak-anak tidak dianjurkan bekerja. Namun, terkadang karena alasan ekonomi, anak-anak dituntut mencari uang. Nah, kalau alasan ekonomi, yang perlu dipastikan pekerjaan tidak boleh membuat mereka tidak bersekolah. Jika itu terjadi, perusahaan telah merampas hak-hak anak,” kata Alik di Pontianak.

Menurut dia, pembatasan jam kerja bagi anak agar mereka bekerja itu tetap sekolah. ”Misal, mereka bisa bekerja setelah jam sekolah. Tapi tentu saja jenis pekerjaan juga tidak boleh yang berat bagi anak.”

Alik mengakui masih banyak pekerjaan yang dilakoni anak-anak, terutama pekerjaan-pekerjaan informal, misal penjaga kafe, toko, pengasuh bayi, dan lain-lain. Di perkebunan, sejumlah pekerjaan seperti menanam bibit juga kerap dikerjakan anak-anak. ”Padahal mereka tidak boleh dieksploitasi berlebihan. Jangan mentang-mentang anak digaji kecil namun disuruh kerja dengan waktu yang berlebihan.”

Berdasarkan catatan, PT SSA mengantongi Izin Lokasi melalui SK Bupati Sintang Nomor 445 tanggal 1 Juni 2008 dengan luas areal mencapai 20 ribu hektar. Kapasitas pabrik 60 ton tandan buah segar (TBS) per jam dengan areal yang dikaji 14.038 hektare. PT SSA mulai beroperasi pada 2011. Tahapan pengerjaan sudah masuk penanaman. PT SSA dan PT Sumber Hasil Prima (SHP) ada di bawah group PT Agro Harapan Lestari. Perusahaan ini juga masih menginduk di bawah payung Goodhope.

Hingga kini konflik dengan masyarakat masih berlangsung. Paguyuban Dayak Uud Danum menilai perusahaan ini telah menodai hak-hak masyarakat adat. “Selain kasus pekerja anak, masyarakat adat minta tanah mereka yang ada dalam izin lokasi dilepas dari wilayah kelola. Baik itu tanah kebun, ladang, dan ulayat,” kata Rafael Syamsuddin, Ketua Paguyuban Dayak Uud Danum.

Rafael menjelaskan, status tanah adat itu diakui negara. Ini juga sudah diperkuat dengan bukti penguasaan fisik berupa tanam tumbuh maupun perladangan yang sudah berlaku turun temurun. Regulasinya jelas, Undang-Undang No 56/PRP/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Regulasi lain yang memperkuat pengakuan negara atas tanah adat adalah UU No 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, dan PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Lalu muncullah Keputusan Bersama antara Mendagri dengan Menteri Agraria No Sekra 9/1/2/1961 untuk melaksanakan amanat UU itu.

 


Perusahaan Sawit di Kalbar Tertangkap Kamera Pekerjakan Anak-anak was first posted on February 7, 2013 at 1:36 am.

DPRD Malinau-AMAN Usung Perda Akomodasi Hak Masyarakat Adat

$
0
0

Nota kesepahaman antara AMAN dan DPRD Malinau, Kalimantan Utara, tentang penyusunan Perda yang memperhatikan hak-hak masyarakat adat.Foto: AMAN

DPRD Malinau, Kalimantan Utara,  bekerja sama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam menyusun dua peraturan daerah (perda) yang bertujuan melindungi hak-hak masyarakat adat.

Perda itu, pertama, mengenai perlindungan lahan-lahan potensial untuk perkebunan dan pertanian bagi masyarakat adat di Kabupaten Malinau. Kedua, menyusun peraturan berkaitan dengan lembaga adat di sana.

Kabupaten Malinau, adalah salah satu Kabupaten di Kalimantan Utara telah mengambil inisiatif memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Tahun 2012, DPRD Malinau berinisiatif menyusun Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Kabupaten Malinau. Disahkan akhir tahun lalu.

DPRD Kabupaten Malinau merasa perda itu harus didukung peraturan lain. Tujuannya, membangun pertahanan kuat untuk membentengi hak-hak masyarakat adat dari serbuan investasi di masa depan.

Ketua DPRD Kabupaten Malinau, Martin Labo mengatakan, kerjasama dengan AMAN untuk mengkaji guna menyusun kedua peraturan daerah itu. “AMAN dan DPRD Malinau telah berdiskusi awal. Pembuatan perda ini akan dikerjakan oleh AMAN dan DPRD Kabupaten Malinau,” katanya di Jakarta, dalam acara tanda tangan nota kesepahaman, Jumat(8/2/13).

Sekjen AMAN Abdon Nababan mengatakan, kerja sama ini bukan hanya untuk rakyat Malinau. Sebab, persoalan di Malinau juga dialami masyarakat adat di nusantara.  “Saya mohon pengertian karena sebenarnya perda yang kemarin disahkan sudah kami sosialisasikan ke daerah-daerah lain.  Kami sudah bicarakan di Kementerian Dalam Negeri. Kami sudah sampaikan juga di Kementerian Hukum dan HAM sebagai contoh terbaik di tingkat kabupaten untuk melindungi rakyat.”

Dia mendengar, Bappenas sudah turun ke sana untuk mencermati proses perda ini. “Bahkan teman-teman dari Papua mau datang ke Malinau, katanya kalau boleh belajar dari DPRD Malinau. Kami sebenarnya sedang meminta supaya Panja DPR RI datang ke sana, sebagai contoh masyarakat adat siap menindaklanjuti jika RUU Masyarakat Adat disahkan,”  ucap Abdon.

Martin senang atas capaian-capaian kecil dalam perjuangan masyarakat adat ini. Capaian-capaian ini, ujar dia, tidak mudah karena perjuangan masyarakat adat sudah begitu lama dan panjang.

“Saya pribadi menghabiskan lebih dari 30 tahun, bekerja bersama masyarakat adat. Saya belajar hidup di ‘universitas’ kehidupan masyarakat adat. Kita tahu, hak hidup masyarakat adat di negara ini tidak banyak dihargai.”

Perda perlindungan masyarakat adat ini penting. Sebab, nasib masyarakat adat di Indonesia, masih jauh dari pengakuan dan perlindungan negara.  Pemerintah lewat kementerian- kementerian bekerja sama dengan pemerintah daerah (pemda) justru memberikan izin konsesi pada perusahaan-perusahaan skala besar.

Pemberian izin-izin ini tanpa sosialisasi dan persetujuan masyarakat adat yang telah mendiami dan menguasai wilayah-wilayah peruntukan konsesi sejak lama. Masyarakat adat berdiam di wilayah konsesi itu secara turun temurun, bahkan jauh sebelum Republik Indonesia ada.

 


DPRD Malinau-AMAN Usung Perda Akomodasi Hak Masyarakat Adat was first posted on February 10, 2013 at 2:54 pm.

Video Pekerja Anak di Kebun Sawit, Pemerintah Kalbar Turun Tangan

$
0
0

Tampak anak-anak usia sekolah tengah sibuk bekerja di kebun sawit di Sintang, Kalbar. Foto: Hovek

REKAMAN video anak-anak di bawah umur yang sedang bekerja memikul polybag di kawasan PT Sinar Sawit Andalan (PT SSA), Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar), mengundang perhatian banyak pihak, termasuk pemerintah daerah dan DPRD. Menindaklanjuti kasus ini, Pemerintah Kalbar,  segera turun lapangan dan jika terbukti perusahaan mempekerjakan anak-anak bawah umur, izin terancam dicabut.

Respon ini datang dari Sekretaris Daerah Kalbar, M Zeet Hamdy Assovie. Dia memerintahkan, Satuan Kerja Perangkat Daerah Kalbar untuk menindaklanjuti. Mereka diminta segera meninjau lokasi kejadian. “Jika memang betul ada perusahaan sawit yang mempekerjakan anak di bawah umur akan kita sanksi. Bila perlu izin kita cabut,” katanya kepada wartawan di Pontianak, Senin(12/2/13).

Anggota DPRD Kalbar, Syarif Izhar Assyuri mengamini respon cepat Pemprov Kalbar itu. “Saya kira pemerintah memang harus segera mengambil langkah cepat. Jika perusahaan itu terbukti pekerjakan anak, pemerintah harus menindak tegas. Sabab, mereka telah merampas hak asasi anak, dan meredupkan masa depan mereka,” katanya.

Izhar meminta Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kalbar segera turun tangan. Perusahaan ini diduga melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak, dan melanggar pula Perda Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. “Dalam kasus ini saya lihat anak sudah jadi komoditas yang diperjualbelikan.”

Kendati demikian, dia meminta penelusuran memerhatikan sejumlah aspek, seperti apakah ada unsur kesengajaan, paksaan, atau malah orangtua yang menyodorkan anak kepada perusahaan.

Sekretaris Desa (Sekdes) Desa Kesange, Rahab mengatakan, pekerja anak yang muncul di media massa  itu warganya. “Itu warga saya, anak-anak kami, yang masih sekolah di bangku SD. Mereka sudah kehilangan masa kecil dan disuruh bekerja keras mengisi polybag di pembibitan perusahaan itu.” Menurut Rabab, anak-anak itu warga Desa Kesange, tepatnya di Sungai Elas, anakan Sungai Lebane.

PT SSA Membantah

Media Relation Assistant Manager, PT SSA, Aditia Insani Taher membantah tudingan ada pekerja anak di perusahaan itu. “Kami tidak pernah memiliki kebijakan mempekerjakan anak di bawah umur sesuai ketentuan peraturan tenaga kerja yang berlaku,” katanya.

Dalam siaran pers Senin(12/2/13) perusahaan mengaku tidak pernah mempekerjakan anak-anak dalam operasional mereka. “Apa yang terjadi di lapangan kemungkinan gambaran aktivitas beberapa anak karyawan perusahaan yang kebetulan ikut serta atau membantu orang tua di dekat lokasi perkebunan, karena tidak ada yang menjaga di rumah.”

Perusahaan, kata Aditia, juga menyediakan fasilitas penitipan anak berikut pengasuh. Perusahaan pun, melalui Depertemen Sumber Daya Manusianya (HRD) senantiasa memberikan pengarahan terkait hal–hal yang berhubungan dengan ketenagakerjaan baik kepada karyawan maupun anggota keluarga.

Menurut dia, Dinas Tenaga Kerja kabupaten dan provinsi  serta perwakilan anggota DPRD dari komisi terkait akan memverifikasi langsung ke lapangan. “Untuk meluruskan hal ini dan diharapkan dapat memperjelas permasalahan sesuai fakta,” ujar Aditia.

Tampak anak-anak tengah bekerja di kebun sawit, seperti mengangkut polybag berisi bibit sawit. Menyikapi kasus ini, Pemerintah Provinsi Kalbar, akan turun ke lapangan. Foto: Hovek


Video Pekerja Anak di Kebun Sawit, Pemerintah Kalbar Turun Tangan was first posted on February 12, 2013 at 11:19 pm.

Tersebar di 98 Kabupaten, Konflik Agraria Didominasi Sektor Perkebunan dan Kehutanan

$
0
0

Sektor perkebunan, didominasi sawit merupakan sektor pemicu konflik agraria dan sumber daya alam di negeri ini. Foto: Sapariah Saturi

DALAM enam tahun terakhir, HuMa mencatat konflik agraria dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia, terjadi menyebar di 98 kota dan kabupaten di 22 provinsi. Luasan area konflik mencapai 2.043.287 hektar atau lebih dari 20 ribu kilometer persegi alias setara separuh Sumatera Barat. Penyumbang konflik terbesar sektor perkebunan dan kehutanan, mengalahkan kasus pertanahan atau agraria non kawasan hutan dan non kebun.  Sektor perkebunan 119 kasus, dengan luasan area mencapai 413.972 hektar, sedang  sektor kehutanan 72 kasus, dengan luas area mencapai 1, 2 juta hektar lebih.

Koordinator Database dan Informasi HuMa, Widiyanto mengatakan, secara kuantitas, konflik yang didokumentasikan HuMa ini hanya potret permukaan. Jika semua konflik berhasil diidentifikasi jumlah dan luasan pasti jauh lebih besar. Dari 22 provinsi konflik yang didokumentasikan, tujuh provinsi memiliki konflik paling banyak, yakni Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. (lihat grafis).

Kalimantan Tengah, menjadi provinsi paling banyak konflik, 13 dari 14 kabupaten dan kota bermasalah klaim atas SDA dan agraria. Konflik merata. Sekitar 85 persen dari kasus di Kalimantan Tengah di sektor perkebunan, 10 persen sektor kehutanan. Sisanya, konflik pertambangan dan konflik lain.

Dari data HuMa, keempat provinsi se-Kalimantan menyumbang 36 persen konflik  di Indonesia. “Konflik-konflik di provinsi-provinsi lain di Nusa Tenggara, Sulawesi, Sumatera dan Jawa juga menunjukkan kondisi mencemaskan,” katanya kala memaparkan Outlook Konflik 2012 di Jakarta, Jumat(15/2/13).

Konflik di Sumatera hampir mirip dengan Kalimantan, berupa klaim komunitas lokal atau masyarakat adat dengan negara maupun perusahaan. “Dua pulau besar ini memiliki kawasan hutan luas dan menjadi wilayah ekspansi perkebunan sawit di Indonesia,” ujar dia.

Untuk konflik di Jawa, lebih banyak menyangkut sektor kehutanan. Gugatan masyarakat terhadap penguasaan wilayah oleh Perhutani masih deretan teratas. Konflik melibatkan Perhutani hampir di seluruh wilayah kerja perusahaan pelat merah  ini, seperti di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Data resmi Perhutani,  menunjukkan perusahaan ini menguasai kawasan hutan seluas 2,4 juta hektar. Ada sekitar 6.800 desa berkonflik batas dengan kawasan Perhutani di Jawa.

HuMa juga mengidentifikasi akar-akar konflik dari berbagai sektor. Untuk sektor perkebunan, kata Wiwid, meluas ditengarai sebagian besar terjadi di kawasan hutan. Hutan yang sebelumnya ditumbuhi pohon-pohon lebat dan banyak dikelola masyarakat, dalam satu dekade mengalami deforestasi amat parah. “Tingkat konversi hutan cukup tinggi di daerah di mana ekspansi sawit merajalela.”

Laju investasi perkebunan sawit diduga memperkuat tekanan kebutuhan lahan, dan yang rentan dikorbankan kawasan hutan. Contoh, terjadi di Nagari Rantau, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, melibatkan PT. Anam Koto. Perusahaan ini, memegang hak guna usaha seluas 4,777 hektar, dulu diklaim wilayah hutan adat.

Begitu juga di Kalimantan. Ekspansi perkebunan monokultur seperti sawit di tak ayal membuat luas hutan berkurang drastis. Perubahan status kawasan hutan melalui mekanisme pelepasan, tukar- menukar tak seimbang, maupun izin pinjam pakai marak terjadi dan cenderung kian tak terkendali.  “Konflik klaim adat atas wilayah hutan melawan penunjukan sepihak negara, makin runyam. Kasus ini belum tuntas, konflik bertambah antara masyarakat dengan perusahaan.

Penyebab konflik ini, menurut HuMa, terkait kepentingan para pihak seperti pemerintah dinilai lebih memprioritaskan pemilik modal besar, keinginan mengembangkan komoditas tertentu seperti sawit, kapas transgenik, ekaliptus, dan lain-lain. Lalu, konflik ruang tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan pemilik modal, juga pemilik modal dengan pemilik modal lain, pola kerjasama tidak seimbang antara perusahaan dengan petani dan penentuan pola ruang tidak partisipatif. Dari data HuMa, paling tidak ada 14 provinsi memiliki konflik perkebunan mayoritas di Kalimantan dan Sumatera.

Untuk sektor kehutanan, penyebab konflik mayoritas didominasi hak menguasai negara secara sepihak pada tanah-tanah yang dikuasai komunitas lokal secara komunal. Politik penunjukan tanah yang diklaim milik negara menyulut perlawanan hingga konflik berlarut-larut.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tahun 2007 dan 2009, terdapat 31.957 desa teridentifikasi berada di sekitar dan dalam kawasan hutan. Kini desa-desa ini menunggu kejelasan status. Di banyak desa hampir keseluruhan wilayah administratif di kawasan hutan lindung atau konservasi. “Bila  masyarakat mengamabil kayu atau hasil hutan, berarti bisa dengan mudah dianggap tindakan ilegal.”

Salah satu terjadi di Desa Sedoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Wilayah administratif desa ini hampir 90 persen di kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Lore-Lindu. Kini kasus desa ini masih pendampingan oleh Bantaya, mitra HuMa di Palu.  Ada juga di Kelurahan Battang Barat, Kota Palopo, sekitar 400 hektar terkena perluasan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Nanggala III.

S. Rakhma Mary dari Pusat Database dan Informasi HuMa mengungkapkan, desa-desa di kawasan hutan, seperti Desa Sedoa atau Kelurahan Battang Barat, tanah-tanah tak dapat diterbitkan sertifikat atau bukti kepemilikan tanah. Pengaturan pengaturan tanah di kawasan hutan di Kemenhut dan sertifikat tanah di Badan Pertanahan Nasional.

Parahnya, masalah desa di kawasan hutan ini berimplikasi pada pelayanan publik, jaringan infrastruktur, dan banyak lagi. “Ini rentan diskriminasi masyarakat desa dalam kawasan hutan.”

Konflik kehutanan, kata Rakhma, juga dilatari perbedaan cara pandang antara perusahaan dengan komunitas setempat atas jenis tanaman yang ditanam. Biasa, konflik seperti ini marak pada area-area konsesi hutan produksi atau hutan tanaman industri yang memiliki tutupan primer. “Perusahaan memerlukan lahan skala luas untuk bahan baku pembuatan kertas atau kayu lapis olahan.”

HuMa mencatat, kasus PT. Toba Pulp Lestari di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Perusahaan membabat Hutan Kemenyan (Tombak Haminjon) yang sudah dikuasai turun temurun masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta, mengganti dengan pohon ekaliptus.

Lalu kasus PT. Wira Karya Sakti, membabat hutan primer untuk akasia dan ekaliptus di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi serta kasus PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Semenanjung Kampar, Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Konflik di sektor pertambangan, tak sebanyak kehutanan dan perkebunan. Namun, konflik ini sangat mudah meletup dibanding kehutanan, cenderung bersifat laten. Dari pantauan HuMa, komunitas lokal sangat gigih mempertahankan wilayah kelola yang dirampas perusahaan izin konsesi tambang, tanpa ada pertimbangan persetujuan dengan dasar informasi tanpa paksaan atau free, prior and informed consent (FPIC).

Dalam konflik pertambangan memiliki kecenderungan terjadi bentrok fisik. Korban luka banyak berjatuhan, beberapa meninggal dunia. “Perusahaan hampir selalu tampil sebagai pemenang. Aparat polisi, jaksa, hingga hakim cenderung lebih mengutamakan pihak yang memegang konsesi sebagai alas hukum ketimbang adat yang dianggap tak resmi atau formal,” ucap Rakhma.

Perusahaan tambang dengan mudah membelokkan tudingan penyerobotan tanah, kawasan hutan atau pencemaran lingkungan, menjadi persoalan administrasi konsesi atau kontrak karya. Tak jarang, perusahaan dibantu aparat penegak hukum mengkriminalisasi warga yang protes dengan dalih anarkis. “Warga ditangkapi, ditahan, banyak dipenjara. Seperti PT. Sorikmas Mining di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.”

Di Kalimantan Barat, tepatnya di Pelaik Keruap, Kabupaten Melawi, tiga tokoh komunitas setempat dihukum penjara dengan dakwaan menahan tanpa hak rombongan surveyor perusahaan tambang PT. Mekanika Utama yang masuk kampung tengah malam. Kriminalisasi juga menimpa empat warga Sirise, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Mereka dihukum lima bulan penjara karena mempertahankan lingko atau hutan adat yang diserobot perusahaan tambang.

Sumber: HuMa

Sumber: HuMa

Sumber: HuMa

Negara, Aktor Tertinggi Rampas Hak Rakyat

Untuk pelaku utama konflik, ditempati perusahaan, dengan pola, komunitas lokal melawan perusahaan, petani versus perusahaan,  komunitas lokal dengan Perhutani dan masyarakat adat melawan perusahaan. “Tingginya frekuensi keterlibatan perusahaan ini disumbang dari konflik sektor perkebunan dan pertambangan,” kata Wiwid.

Konflik-konflik ini menyebabkan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sejalan dengan perkembangan HAM, saat ini perusahaan atau korporasi bisa dikategorikan sebagai pelaku, tak hanya negara.

Berangkat dari itu, sistem pendokumentasian HuMa mengklasifikasi kejadian masuk kategori peristiwa yang melingkupi kasus. HuMa mendokumentasikan konflik dengan dasar kasus, bukan peristiwa. Bila dalam kategori pelaku konflik, perusahaan atau korporasi menempati urutan teratas, dalam kategori pelanggar HAM dalam konflik agraria, negara menempati posisi pertama.

Kasus ini berlangsung sistematis menyasar kelompok masyarakat yang aksi demonstrasi menentang konsesi atau izin perusahaan. “Aparat negara, seperti personel Brimob, cenderung memposisikan diri sebagai pihak pengaman aset perusahaan ketimbang melindungi masyarakat,” ujar Rakhma. HuMa mencatat, sebanyak 91.968 orang dari 315 komunitas menjadi korban konflik SDA dan agraria.

HuMa juga mengidentifikasi pelaku pelanggar HAM dari kalangan individu yang memiliki posisi dan pengaruh dalam kekuasaan, terutama di tingkat lokal. Contoh, ketua kerapatan adat, menggunakan kekuasaan sebagai tetua adat untuk menghasut atau menyerang masyarakat yang protes-protes.

Dilihat dari jenis-jenis pelanggaran HAM, pertama, pelanggaran terhadap hak rakyat untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber-sumber alam paling sering terjadi (25%). Biasa terjadi pada sengketa yang terkait dengan kepemilikan kolektif, misal sekelompok masyarakat adat kehilangan akses terhadap hutan adat karena pemberian konsesi pada perusahaan oleh pemerintah.

Kedua, pelanggaran hak memiliki atau menguasasi kekayaan sebanyak 19 persen. Ini terjadi pada perampasan tanah-tanah masyarakat secara individu. Sebagian korban mempunyai surat kepemilikan tanah dan sebagian lain tidak. Di Kabupaten Aceh Timur,  ada 700 orang bersengketa dengan PT Bumi Flora. Warga di tujuh desa ini menunggu verifikasi tim pemerintah terhadap surat-surat bukti kepemilikan tanah mereka. Kasus serupa terjadi pada sengketa antara PT Lestari Asri Jaya dengan warga pendatang di Kabupaten Tebo. Mereka saling mengklaim sebagai pihak yang sah atas tanah  itu.

Ketiga, pelanggaran hak atas kebebasan sebanyak 18 persen. Kasus ini terjadi saat aparat pemerintah menangkap semena-mena masyarakat yang melawan penyerobotan tanah. Peritiwa penangkapan besar-besaran terjadi dalam kasus sengketa tanah PT Arara Abadi di Kabupaten Bengkalis. Sebanyak 200 orang ditangkap dalam sweeping mencekam dan berdarah. Juga terjadi di Kabupaten Labuhanbatu Utara, 60 warga menentang penyerobotan tanah PT Smart ditangkap. Nasib serupa dialami 24 warga penentang tambang PT. Fathi Resources di Kabupaten Sumba Timur.

Keempat, pelanggaran terhadap integritas pribadi, seperti pada kasus-kasus bentrokan. Bentrokan, katanya,  bisa terjadi antara masyarakat dengan petugas keamanan perusahaan maupun kepolisian. Tidak jarang sweeping kepolisian dengan jumlah personel di desa-desa untuk menangkap warga. Jika ada perlawanan berakhir penembakan dan penganiayaan.

Kasus seperti ini  di PT. Permata Hijau Pasaman II, Kabupaten Pasaman Barat, 20 orang luka tembak. Peristiwa berdarah PTPN VII di Ogan Ilir menyebabkan 23 warga luka tertembak, satu tewas. Kini, tiga orang dikriminalisasi, dua di antaranya aktivis Walhi Sumatera Selatan (Sumsel).

Dari beragam konflik ini, HuMa meminta, pemerintah  mengambil beberapa langkah. Pertama, moratorium semua perizinan untuk perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan pesisir. Kedua, menghentikan segala bentuk penanganan konflik dengan cara kekerasan.

Ketiga, membentuk sebuah lembaga Penyelesaian Konflik Agraria bertugas mengidentifikasi, menyelidiki, konflik-konflik agraria, case by case, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Keempat, dari rekomendasi lembaga  itu, pemerintah menindak tegas berupa pencabutan maupun pembatalan izin-izin perusahaan. Lalu, menindak pidana perusahaan maupun aparat pemerintah yang merampas tanah rakyat.

Kelima, review peraturan perundang-undangan SDA yang tumpang tindih. Keenam, mengembalikan tanah-tanah hasil rampasan perusahaan maupun pemerintah kepada masyarakat sebagai pemilik. Tindakan ini untuk menjalankan Tap MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA.

Sumber: HuMa

Sumber: HuMa

Sumber: HuMa


Tersebar di 98 Kabupaten, Konflik Agraria Didominasi Sektor Perkebunan dan Kehutanan was first posted on February 16, 2013 at 2:34 pm.

Warga Menolak, Pemerintah Pohuwato Berkeras Investasi Sawit Harus Jalan

$
0
0

Perkebunan sawit mulai mendatangi kawasan-kawasan baru seperti di Kabupaten Pahuwato, Gorontalo. Konflik baru pun mulai bermunculan, kala terjadi penolakan warga dan pemerintah daerah merasa tak ada masalah, bahkan merasa perlu mendukung investasi yang dianggap “menyerap tenaga kerja dan mensejahterakan masyarakat ini.”. Foto: Sapariah Saturi

Pemerintah Kabupaten Pahuwato, Gorontalo, tak mengindahkan tuntutan warga yang meminta pencabutan izin perkebunan sawit. Wakil Bupati Kabupaten Pohuwato, Amin Haras, Sabtu (16/2/13) mengatakan, pemerintah tidak akan mencabut izin perkebunan sawit sesuai tuntutan masyarakat.

“Mencabut izin tidak semudah itu. Prose sudah lama sejak tahun 2006. Apalagi dokumen-dokumen persyaratan dipenuhi sejak awal,” kepada Mongabay, di Gorontalo.

Menurut dia, ketika sosialisasi maupun saat diundang mengikuti izin analisis dampak lingkungan dan izin lingkungan, tidak ada masalah dari masyarakat. Namun dia merasa heran, ketika sudah berjalan, malah ada beberapa kelompok menolak.

Namun, kata Amin, titik persoalan adalah tidak ada komunikasi yang intens dari perusahaan kepada masyarakat. Padahal, masih banyak masyarakat kurang paham tentang sawit, terlebih di Gorontalo, tidak terbiasa dengan tanaman itu.

Mengenai tuntutan kelompok masyarakat penolak sawit, bagi dia hanya upaya provokasi dari kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan tertentu, di tingkatan masyarakat tidak ada masalah. “Bagi pemerintah, investasi seperti perkebunan sawit adalah kebutuhan daerah.”

Ke depan, kata Amin, sosialisasi akan lebih diperdalam lagi oleh pemerintah dan perusahaan. Dalam waktu dekat, pemerintah daerah akan mengajak 25 tokoh masyarakat, termasuk pemuda dan lembaga swadaya masyarakat, studi banding ke perkebunan-perkebunan sawit yang berhasil.

“Studi banding ini akan dibiayai pemerintah daerah. Biar masyarakat tahu, sawit itu bisa membawa keuntungan. Karena potensi ekonomi sangat tinggi, terutama menambah lapangan pekerjaan,” ujar dia.

Di Kabupaten Pohuwato, empat perusahaan sawit mulai beraktivitas, yakni PT Inti Global Laksana konsesi 12.000 hektar, PT Banyan Tumbuh Lestari 16.000 hektar, PT Sawit Tiara Nusa luas 10.000 hektar, dan PT Sawindo Cemerlang 20.000 hektar. Dua perusahaan lagi di areal penggunaan lain, adalah PT Wira Mas Permai 20.000 hektar dan PT Wira Sawit Mandiri seluas 10.000 hektar.“Dokumen enam perusahaan itu sudah lengkap. Jadi tak ada masalah,”  kata Jhoni Nento, Kepala Dinas Kehutanan dan Pertambangan Energi Kabupaten Pohuwato.

Sebelumnya, warga di Desa Dudewulo, Kecamatan Popayato, yang tergabung dalam Forum Rakyat Merdeka Pohuwato memberikan waktu satu bulan kepada bupati, Syarif Mbuinga, segera mencabut izin perusahaan sawit yang merambah hutan di daerah itu.

Ultimatum ini terhitung sejak 15 Januari 2013 hingga 15 Februari 2013. Mereka terpaksa melakukan karena terus menerus menerima perkebunan sawit masuk wilayah ini.

Arlin Kaluku, ketua Forum Rakyat Merdeka Pohuwato ditemui Mongabay, Sabtu (16/2/13), mengatakan, tetap menolak sawit meski pemerintah daerah tidak mencabut izin. “Kalau memang pemerintah tidak menanggapi tuntutan masyarakat, kami akan menggunakan cara lain, dengan memboikot pemilu di Popayato. Warga tidak akan membayar pajak kalau memang perusahaan sawit tetap memaksa masuk dalam kawasan hutan di Pohuwato.”

 


Warga Menolak, Pemerintah Pohuwato Berkeras Investasi Sawit Harus Jalan was first posted on February 17, 2013 at 6:15 pm.

Preman Sawit Penyerang Warga, Polisi Baru Tetapkan Dua Tersangka

$
0
0

Konflik sawit di Kabupaten Pahuwato, Gorontalo, memanas. Warga sudah mengalami kekerasan dari preman perusahaan sawit. Saat ini, polisi sudah menetapkan dua tersangka penyerangan. Foto: Sapariah Saturi

Sembilan orang diduga preman perusahaan sawit yang menyerang warga di Desa Dudewulo, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, diamankan polisi.  Namun, dari sembilan itu,  baru dua orang ditetapkan sebagai tersangka, AS alias Lilin, sopir perusahaan dan Il alias Ishak sebagai karyawan perusahaan.

“Dua orang tersangka, yang lain masih dalam penyelidikan,” kata AKP Zainal Hamzah, Kasat Reskrim Polresta Pahuwato, ketika dihubungi Mongabay, Senin (18/2/13). Tujuh orang lain, katanya, tak bisa bebas meskipun belum tersangka karena dalam proses pemeriksaan.

Sandy Rumensor, dari Lembaga Bantuan Hukum Manado, mengatakanm telah investigasi ke lapangan dan memperoleh sampel maupun data korban penyerangan warga.”LBH Manado akan menggelar perkara terkait insiden penyerangan oleh preman perusahaan terhadap warga  ini,” katanya.

Sebelumnya, masyarakat dalam posko penolakan perkebunan sawit di Desa Dudewulo, diserang sekelompok orang diduga kuat preman perusahaan.Pelaku membawa parang dan langsung main tebas dan memukuli warga.

Menurut Zainudin Lasimpala, seorang korban, wajah para penyerang itu dikenal baik sebagai preman yang tak jauh dari tempat mereka tinggal. Akibat penyerangan itu, delapan warga mengalami luka-luka serius, termasuk seorang anak dan ibu rumah tangga.

Rasyid Umar, warga di Popayato mengaku kecewa dengan polisi. Sebab, sudah jelas para pelaku memakai mobil perusahaan sawit ketika menyerang warga.”Harusnya polisi segera menetapkan semua sebagai tersangka, juga perusahaan. Karena dalam penyerangan itu, mereka menggunakan mobil perusahaan. Artinya mereka difasilitasi.”

 


Preman Sawit Penyerang Warga, Polisi Baru Tetapkan Dua Tersangka was first posted on February 19, 2013 at 10:24 am.

Perusahaan Sawit Bantah Video Pekerja Anak, Ada Warga Lain Lapor Kasus Serupa

$
0
0

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sintang, saat turun ke lapangan (PT SSA) terkait pekerja anak yang terekam video. Foto: PT SSA

Perusahaan berkali-kali membantah tak ada kebijakan mempekerjakan anak. Merekapun meminta Hovek, pembuat video, mengklarifikasi. Ternyata belum usai. Ada lagi warga yang lapor ke Sekda Kalbar tentang pekerja anak di kebun itu.  Dia meminta Dinas Tenaga Kerja Provinsi turun lagi ke lapangan karena laporan dari dinas kabupaten menyatakan tak ada pekerja anak.

Siang itu, Rabu (20/2/13), di sebuah warung kopi di pusat bisnis Kota Pontianak, Aditia Insani Taher, Media Relatian Assistant Manager PT Sinar Sawit Andalan (PT SSA), datang bersama dua warga Desa Kemangai, Kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang. Salah seorang Hovek, perekam video yang memperlihatkan anak-anak tengah bekerja di kebun sawit.

Hovek hadir di Pontianak memenuhi panggilan PT SSA. Hovek diminta mengklarifikasi rekaman video yang dia buat. Namun,  Hovek tetap menyebut tidak ada rekayasa dalam video itu. “Video itu benar saya yang ambil gambar. Saya tidak pernah merekayasa gambar. Tidak juga pernah menyuruh anak itu membawa polybag lalu saya rekam,” katanya.

Kata Hovek, anak dalam video itu, yang bernama Bumbung memang benar mengangkut polybag. Namun, menurut Hovek, setelah menanyakan kembali, anak-anak itu bukan bekerja, hanya main-main. Dari keterangan yang dia peroleh di camp, anak-anak itu ikut orangtua mereka dan sedang bermain di perkebunan.

Aditia pun mengatakan, perusahaan tidak pernah memiliki kebijakkan mempekerjakan pekerja anak atau anak di bawah umur sesuai ketentuan peraturan dan UU tenaga kerja yang berlaku.

Perusahaan sudah membantah ada pekerja anak. Video yang direkam Hovek pun diklarifikasi, bahwa anak-anak itu hanya bermain. Meskipun benar terekam ada aktivitas angkut mengangkut oleh anak-anak itu.

Ternyata, dua hari sebelum itu, Senin(18/2/13), di Pontianak, warga lain lapor kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat (Pemprov Kalbar) kasus serupa, pekerja anak di PT SSA.

Sekretaris Desa Kesange, Rabab, hari itu menghadap Sekretaris Daerah Pemprov Kalbar, M Zeet Hamdy Assovie, di Kantor Gubernur. Sekitar satu jam sejak pukul 09.00, dia bersama Ketua Paguyuban Dayak Uud Danum, Rafael Syamsudin berdialog dengan orang nomor wahid di jajaran PNS di provinsi itu.

Hadir pula Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Sintang, Florensius Kaha dan sejumlah staf lain. “Kami mengadu ke Sekda Kalbar soal pekerja anak dan sengketa lahan antara warga dengan PT SSA. Kami juga sudah dapat progress report dari Dinsosnakertrans yang membantah keberadaan pekerja anak di perusahaan itu,” kata Rabab.

Rabab tidak yakin dengan hasil verifikasi Dinsosnakertrans Sintang di kawasan PT SSA itu berjalan maksimal. “Bagaimana mungkin fakta itu dibantah. Salah seorang pekerja anak di video itu adalah Bumbung. Dia masih keponakan saya.”

Atas dasar itu, dia meminta Sekda Kalbar kembali menurunkan tim ke lokasi untuk mengecek kebenaran progress report yang sudah dibuat Dinsosnakertran Sintang. Pada saat itu juga, M Zeet berjanji menurunkan tim.

Rabab juga menyodorkan bukti lain lewat rekaman video di ponselnya terkait pekerja anak di PT SSA. Dalam rekaman video berdurasi tiga menit 48 detik itu, terungkap pengakuan warga Desa Kesange bernama Agus, warga Dusun Dahtah Bungai II.

Agus berbicara menggunakan Bahasa Dayak Uud Danum. Dalam video itu,  kata Rabab, Agus menceritakan,  punya seorang anak masih kelas IV SD dan ikut bekerja di perkebunan sawit milik PT SSA. “Waktu libur anak saya ke perusahaan bekerja. Tapi namanya tak dimasukkan dalam absen. Ada 50 sampai 60 pekerja anak. Mereka ini belum layak kerja, tapi mendengar ada uang mereka mau juga,” kata Rabab menerjemahkan salah satu penggalan kalimat yang dilontarkan Agus.

Bukti-bukti inilah yang mendorong Rabab meminta bantuan Sekda Kalbar agar menurunkan tim dari provinsi. “Hari ini juga saya akan kembali ke desa. Supaya saya tahu bagaimana unsur pemerintah melakukan verifikasi sebuah kasus,” ucap Rahab.

Sebelumnya, Aditia juga mengirim rilis progress report. Di situ dia menjelaskan ada empat orang dari Dinsosnakertrans Sintang, termasuk kepala dinas, Florensius Kaha, bertolak ke lokasi pada 12 – 13 Februari lalu.

Selama dua hari, mereka menemui sejumlah pihak seperti Kepala Desa Kemangai, pemborong pengisian polybag lokasi kerja Desa Kemangai dan Desa Kesange, karyawan pengisian polybag, Manager Plantation dan HRD PT SSA serta seorang anak bernama Bumbung, yang terekam video sedang memikul polybag.

Dalam laporan itu, perusahaan dan pemborong pengisian polybag menyatakan tidak pernah memiliki kebijakan mempekerjakan anak-anak. Perusahaan juga tidak pernah meninggalkan utang Rp37 ribu kepada anak maupun karyawan. Kehadiran anak-anak di lokasi kerja semata-mata ikut orangtua mereka lantaran tidak ada yang menjaga di rumah.

Kepala Desa Kemangai, Ambuk, mengakui keikutsertaan anak-anak itu ke lokasi kerja orangtua mereka. Dia mengatakan, sejak sosialisasi awal sudah menyampaikan kepada masyarakat anak-anak tidak boleh bekerja di perusahaan.

Hatta, pemborong pekerjaan pengisian polybag di Desa Kesange menyebut foto anak yang terekam video itu sedang bermain bersama kawan di lokasi kerja orangtua mereka.

Koordinator Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam, mengatakan, perusahaan tentu tak akan pernah mengakui kalau mempekerjakan anak di bawah umur. “Saya sudah baca beritanya, juga sudah tonton videonya. Meski durasi pendek, ada fakta pekerja anak di kebun sawit yang terekam kamera video.”

Adam menyebutkan, PT SSA sesungguhnya tidak sendiri mengantongi izin di Sintang. Masih ada perusahaan saudaranya, PT Sumber Hasil Prima di Kecamatan Serawai. Keduanya ada di bawah Group PT Agro Harapan Lestari.

 

Salah satu dokumen berupa catatan tentang pekerja anak yang dibawa Sekdes Desa Kesange, Rabab, saat lapor kasus ini ke Sekda Pemprov Kalbar. Rabab juga membawa rekaman video dari orangtua yang anaknya bekerja di kebun saat libur sekolah. Foto: Rabab

 


Perusahaan Sawit Bantah Video Pekerja Anak, Ada Warga Lain Lapor Kasus Serupa was first posted on February 21, 2013 at 11:13 pm.

Tanam Sawit di Luar HGU, Walhi Desak PT PN XIV Kembalikan Lahan Warga

$
0
0

Ratusan hektar lahan warga sejak puluhan tahun ditanami sawit oleh PTPN XIV padahal di luar HGU mereka. Ini diperkuat temuan BPN Morowali yang menyebutkan lebih dari 211 hektar lahan warga dipakai perusahaan pelat merah ini. Foto: Sapariah Saturi

Walhi Sulawesi Tengah (Sulteng) mendesak kepada PT. Perkebunan Nusantara XIV  (PTPN XIV) di Kecamatan Mori Utara dan Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali, segera mengembalikan ratusan hektar lahan warga yang dicaplok. Terlebih, setelah ada temuan BPN Morowali Maret 2013, bahwa lebih 211 hektar lahan warga ditanami sawit oleh PTPN XIV.

“PTPN XIV sejak lama menguasai ratusan hektar lahan warga secara tidak sah. Perusahaan harus mengembalikannya,” kata Ahmad Pelor, Direktur Eksekutif Walhi Sulteng, , dalam rilis kepada media, Selasa (14/5/13).

Dia mengungkapkan, penguasaan lahan tidak sah oleh perusahaan milik negara ini sebenarnya berlangsung lama, sejak 1997. Ratusan hektar lahan warga Desa Tabarano dan Desa Lembontonara Kecamatan Mori Utara, Kabupaten Morowali, ikut ditanami sawit perusahaan. Padahal, lahan warga di dua desa ini bukan bagian dari areal hak guna usaha (HGU) PTPN XIV.

Fakta pelanggaran oleh PTPN XIV juga dikuatkan hasil temuan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Morowali yang mengecek sekaligus pengukuran lokasi pada 16 sampai 20 Maret 2013. Dari pengecekan lokasi BPN Kabupaten Morowali menemukan lebih dari 211 hektar lahan warga ditanami sawit oleh perusahaan.

“Lahan warga yang telah dikuasai PTPN XIV lebih 10 tahun. Secara ekonomis mengakibatkan kerugian karena cukup lama warga tidak bisa mengelola lahan  itu hingga kami minta perusahaan harus bertanggung jawab.”

Untuk itu, dia kembali mendesak pemerintah dan PTPN serius segera mengembalikan lahan warga. Jika tidak, Walhi akan memberikan dukungan kuat kepada masyarakat korban untuk pendudukan lahan atau reclaiming.

Saat ini, PTPN XIV menguasai 15. 494 hektar di Kecamatan Mori Utara dan Mori Atas berdasarkan sembilan sertifikat HGU yang dikeluarkan BPN Kabupaten Morowali pada 12 Juni 2009. Dalam kenyataan, perusahaan sudah beraktivitas sejak 1997. “Artinya, sejak 1997 sampai sertifikat HGU terbit PTPN XIV beraktivitas ilegal di Morowali.”

Menurut Ahmad Pelor, di Sulteng, perkebunan ilegal dengan modus penguasaan lahan masyarakat di luar HGU tidak hanya oleh PTPN XIV. Di Kecamatan Toili, Moilong, dan Toili Barat, Kabupaten Banggai, ribuan hektar lahan petani dikuasai PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS), meskipun lahan-lahan ini di luar HGU. “Hal sama terjadi di Kabupaten Buol, lahan warga dikuasai PT. Hardaya Inti Plantation.”

 


Tanam Sawit di Luar HGU, Walhi Desak PT PN XIV Kembalikan Lahan Warga was first posted on May 14, 2013 at 11:27 pm.

Lindungi Hutan Adat Jadi Kebun Sawit, Warga Mantuhei Pasang ‘Hinting Pali’

$
0
0

Masyarakat Mantuhei saat ritual hinting pali, palang adat untuk melarang perusahaan membuka hutan di lahan warga. Foto: Save Our Borneo

Miris, saat ritual hinting pali berlangsung, empat chainsaw meraung-raung menumbangkan kayu-kayu dari hutan Mantuhei. Labih parah lagi, perusahaan menebang padahal belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan.

Hutan adat di KalimantanTengah (Kalteng) terancam berubah menjadi kebun sawit PT Kalimantan Hamparan Sawit (KHS). Masyarakat adat Dayak di Desa Tumbang Mantuhei, Kecamatan Mahuning Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng pun memasang palang atau hinting pali, pada 25 Mei 2013.

Masyarakat adat Dayak tergabung dalam komunitas Badehen Eka Balindung khawatir hutan yang selama ini sebagai tempat hidup dan penyangga lingkungan, habis jadi kebun sawit.

Thomas, Kepala Desa Tumbang Mantuhei,  mengatakan, selama ini KHS membuka lahan tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan kepentingan masyarakat. Baik,  untuk ketersediaan hutan dan lahan berusaha (satiar) serta merusak sepadan aliran Sungai Mantuhei dan Sungai Pupu. Air sungai keruh dan diduga bercampur kimia beracun dari pupuk dan herbisida perusahaan.

Warga Mantuhei, pernah mengingatkan perusahaan bahkan sudah ada kesepakatan sejak 2007 bahwa membuka lahan dan hutan hanya atas persetujuan warga. Namun, KHS membuka semaunya bahkan menggarap hutan dan lahan tempat berusaha warga. “Pemerintah daerah berdiam diri saja,” kata Nordin, Direktur Eksekutif Save Our Borneo, Sabtu (25/5/13).

Akumulasi ketidakpuasan ini, akhirnya warga memutuskan memasang portal adat atau hinting pali untuk mengingatkan agar perusahaan tidak meneruskan membuka hutan dan lahan warga. Warga juga menuntut KHS mengembalikan lahan-lahan milik masyarakat yang sudah dibuka untuk perkebunan sawit.

Pemasangan hinting pali dipimpin mantir adat Dayak Mantuhei di dekat hutan yang diklaim KHS sebagai areal mereka. Padahal, itu hutan masyarakat untuk menjamin ketersediaan air bagi Sungai Mantuhei dan Sungai Pupu.

Dalam ritual pemasangan hinting pali pada 25 Mei 2013, dari sekitar pukul 11.00 hingga 15.00 ini masyarakat sekaligus membawa alat masak memasak. Sekaligus berbagai perlengkapan ritual upacara adat, seperti rotan, bamboo tamiang dan buluh serta daun sawang.

Hadir 30-an warga dan tokoh masyarakat, kepala desa, mantir adat dan undangan dari Walhi Kalteng dan Save Our Borneo serta beberapa karyawan KHS.

Saat ritual berlangsung, tak kurang dari empat chainsaw menumbangkan kayu-kayu dari hutan Mantuhei berdiameter besar panjang 20-40 meter. “Kejadian ini mengherankan.  Padahal KHS tidak punya izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan,” kata Nordin. Berdasarkan beberapa dokumen bahkan pemberitahuan yang dibuat KHS sendiri menyatakan tidak ada izin pelepasan kawasan hutan (IPKH).

KHS hanya bisa memasang papan pemberitahuan memuat bahwa areal mereka berdasarkan pada Surat Dirjen Planologi No. S.243/VII-KUH/2013 tanggal 27 Februari 2013. “Entah apa isinya. KHS telah membuka hutan di areal ini sejak 2007.”

Putusan MA KHS Bersalah

Keputusan Mahkamah Agung RI perkara No. 1363 K/PID.SUS/2012 diputuskan 10 Oktober 2012. Dalam putusan MA  ini KHS di Manuhing Gunung Mas dinyatakan lalai menyediakan alat-alat pemadam kebakaran atau sangat minim hingga kebakaran terjadi selama 15  hari, mulai 31 Agustus 2009.  Tak hanya lalai menyebabkan kebakaran lahan seluas 22 hektar, MA juga menyebutkan KHS sampai saat diputuskan belum mempunyai IPKH. Padahal sudah ribuan hektar hutan dibuka dan ditanami sawit.

“Sayangnya, berbagai pelanggaran di KHS aparat hukum hanya menjerat manager estate dan tidak membawa kasus ini menjadi corporate crime,”  kata Nordin.

Dalam kasus yang telah diadili dari PN Palangkaraya sampai MA, aparat hukum menjerat Manager Estate KHS,  Ibrahim Lisaholit bin Husein  Lisaholit dinyatakan terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

Ibrahim dihukum satu tahun penjara dan denda Rp200 juta. Jika tak bersedia membayar diganti kurungan badan enam bulan. “Praktik pembalakan KHS di kawasan hutan yang tanpa mempunyai IPKH sampai saat ini tidak bernah diselidiki secara tuntas. Seperti terjadi pembiaran oleh semua pihak.”

Warga Dituduh Pencemaran Nama Baik

Perusahaan bisa terus membabat hutan tanpa IPHK dan aparat pemerintah seakan jadi penonton. Malah, Thomas, Kepala Desa Tb. Mantuhei dan warga Desa Jalemo Mahuning dipanggil ke Polres Gunung Mas untuk dimintai keterangan atas tuduhan pencemaran nama baik oleh KHS.

Kasus berawal ketika mereka berdua melaporkan penemuan orangutan mati di lahan yang baru dibersihkan perusahaan di Desa Jalemo. Atas penemuan itu mereka melaporkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS).

Sehari setelah itu, BOS dan BKSDA datang ke lokasi dan mengamankan bangkai orangutan itu. Beberapa hari kemudian cerita penemuan orangutan mati di lahan KHS masuk koran pada 27 Februari 2013. “Karena masuk koran inilah dan ada tertulis bangkai ditemukan di areal KHS, perusahaan melaporkan Kades dan warga ke Polisi karena dianggap mencemarkan nama baik mereka.” Polisi, kata Nordin, seharusnya datang ke desa dan langsung ke lokasi bukan malah mengkriminalisasi warga yang berniat baik.

Untuk melihat putusan Mahkamah Agung terhadap PT KHS bisa lihat di sini


Lindungi Hutan Adat Jadi Kebun Sawit, Warga Mantuhei Pasang ‘Hinting Pali’ was first posted on June 1, 2013 at 8:23 am.

Bentrok Warga Pantap vs Satpam Wilmar Buntut Konflik Lahan Berlarut

$
0
0
Konflik lahan antara perusahaan dan warga berkepanjangan karena tak ada penyelesaian serius, seperti kasus anak perusahaan Wilmar di Kalteng ini. Penyelesaian hanya pada kasus bentrok tanpa memandang akar permasalahan. Foto: Sapariah Saturi

Konflik lahan antara perusahaan, termasuk perkebunan sawit dan warga berkepanjangan karena tak ada penyelesaian serius, seperti kasus anak perusahaan Wilmar di Kalteng ini. Penyelesaian hanya pada kasus bentrok tanpa memandang akar permasalahan. Foto: Sapariah Saturi

Konflik lahan yang sudah berkepanjangan antara warga Desa Pantap, Kecamatan Kuala Kuayan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng), dan PT Bumi Sawit Kencana (BSK),  memanas. Terjadi, bentrokan antara puluhan warga dengan Satpam perkebunan sawit milik anak usaha Wilmar Group ini, Selasa (23/7/13). Dalam kejadian itu, empat warga luka-luka, satu motor warga rusak, dua truk dan satu mobil perusahaan juga rusak. Dua pos penjagaan satpam pun dibakar warga.

Arie Rompas, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, mengatakan, bentrok ini dampak konflik lama yang tak pernah diselesaikan pemerintah. “Banyak konflik di perkebunan sawit adalah akumulasi penguasaan tanah oleh segelintir orang termasuk Martua Sitorus, pemilik Wilmar ,” katanya lewat surat elektronik kepada Mongabay,   Kamis (25/7/13).

Dia  mengatakan, bila konflik terus dibiarkan akan meluas karena masyarakat di sekitar konsesi Wilmar sudah merasa terabaikan. “Tak ada satu pun persoalan tanah yang selesai, sama juga di desa lain yang masuk konsesi  seperti Desa Tanggar, Kenyala, Tanah Putih, Sebabi, Biru Maju, Pondok Damar. Mereka sudah kehilangan tanah dan sumber penghidupan.”

Pemerintah, katanya,  harus segera membuat satu badan khusus penanganan konflik agraria guna memastikan resolusi konflik terjadi beserta sistem mekanisme pengaduan dalam menyampaikan persoalan-persoalan konflik. Pemerintah pun harus menjalankan reforma agraria guna mewujudkan keadialan agraria. “Dan membatasi skema penguasaan dan monopoli tanah oleh segelintir orang dalam sistem perkebunan skala besar,” ucap Arie.

AKBP Himawan Bayu Aji, Kapolres Kabupaten Kotawaringain Timur di Sampit seperti dikutip dari Antara, mengatakan, bentrok diduga dipicu perselisihan lahan di perbatasan desa dengan perusahaan.  Polres Kotim telah mediasi antara perusahaan dan warga dan kedua belah pihak sepakat berdamai.

“Ada beberapa kesepakatan dalam perdamian itu antara lain, perusahaan bersedia mengobati warga yang terluka akibat pertikaian dengan Satpam. Motor warga yang dirusak akan diganti perusahaan,” kata Himawan.

Poin lain, perusahaan bersedia menghentikan pembangungan parit pembatas antara perusahaan dan desa Pantap.  Sebab, di dalam zona 200 yang dibangun itu masuk lahan warga.

Grafis: Mongabay.co.id

Grafis: Mongabay.co.id

Sayangnya, penyelesaian hanya bersifat kasuistik, bukan mencari akar permasalahan hingga bara konflik tetap hidup. Data Walhi Kalteng, menyebutkan, bentrok antarmasyrakat Desa Pantap dengan  pamswakarsa perusahaan akibat konflik lama berkepanjangan. Perampasan tanah masyarakat desa sekitar perusahaan sudah lama terjadi oleh PT BSK.

Konflik sudah sejak 2006, mencakup lahan masyarakat seluas kurang lebih 2.000 hektar. Pada puncaknya, 23 Juli 2013, sekelompok warga Desa Pantap protes penggalian parit batas di tanah yang masih berkonflik.  Namun satpam perusahaan memukul dan sempat merusak kendaraan masyarakat.  Merasa terdesak dan tak berimbang warga kembali ke desa. Mereka memberitahukan  warga lain.

Kala kembali di lokasi, satpam ternyata sudah mempersiapkan diri dengan  senjata rakitan dan pistol. Warga makin marah. Bentrok pun tak terelakkan.

Terjadi pembakaran dua pos penjagaan perusahaan dan warga sweeping truk perusahaan yang melintas di jalan Desa Pantap. Dua truk dan satu mobil strada milik perusahaan rusak.  Satu motor warga pun rusak dan empat orang mengalami luka-luka.

Saat kejadian, kata Arie, hanya beberapa polisi yang menjaga.  Memang, sudah ada kesepakatan dan pertemuan warga dengan perusahaan.  Namun warga kecewa karena sudah banyak kesepakatan dibuat tetapi tak dijalankan. Basrun, Kepala Desa Pantap mencontohkan, ambulans yang dikirim perusahaan dinilai tak layak hingga warga menolak korban diangkut menggunakan mobil itu.

Dia meminta, aparat mengusut satpam yang memukul  warga dan segera menyelesaikan konflik lahan yang lama terbaikan demi menghindari konflik lebih parah.

Wilmar Group, perusahaan multinasional milik Martua Sitorus dan Wiliam Kwok menguasai lahan seluas 276.920 hektar dari 18  izin konsesi. Sebanyak delapan perusahaan sudah beroperasi di Kalteng, khusus Kabupaten Kotawaringin Timur dan Seruyan.

Microsoft Word - Document3


Bentrok Warga Pantap vs Satpam Wilmar Buntut Konflik Lahan Berlarut was first posted on July 28, 2013 at 12:22 am.

Petani Sawit Swadaya Amanah Terima Sertifikat RSPO Pertama di Indonesia

$
0
0

Asosiasi Petani Sawit Amanah mendapatkan sertifikat RSPO mudah-mudahan menjadi kabar baik bagi sektor persawitan yang selama ini lekat dengan beragam masalah seperti berkonflik dengan warga dan beroperasi di kawasan konservasi tinggi, terutama yang dikelola perusahaan skala besar. Foto: Sapariah Saturi

Kabar tentang pengembangan kebun sawit oleh perusahaan-perusahaan skala besar yang bermasalah di Indonesia, dari membuka kawasan hutan sampai berkonflik dengan masyarakat, bukan berita baru. Ini ada kabar baru tentang sawit: perwakilan petani sawit swadaya memperoleh sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pertama di Indonesia. Mereka adalah para petani dari Kecamatan Akui, Kabupaten Palalawan, Riau, yang tergabung dalam Asosiasi Petani Sawit Swadaya Amanah.

Asosiasi ini berbadan hukum beranggotakan 349 petani swadaya dengan luas kebun 763 hektar dibentuk WWF-Indonesia, dengan bantuan Carrefour Foundation. Ia didaftarkan ke RSPO dalam mekanisme sertifikasi –kelompok dan memperoleh sertifikasi 29 Juli 2013. Anggota asosiasi ini memiliki lahan di luar Taman Nasional Tesso Nilo.

Sunarno, Manajer Grup Asosiasi Amanah mengatakan, awal mula mendapatkan pengenalan tentang RSPO rasanya begitu memberatkan petani. “Lalu ada pelatihan. Kami pun sangat pahami pentingnya RSPO ini. Kami mulai Maret 2012,” katanya di Jakarta, dalam jumpa pers, Kamis (1/8/13).

Dia mengatakan, kendala paling sulit dalam proses sertifikasi adalah kebersamaan. “Hal paling sulit itu kebersamaan dengan petani. Modal kebersaaam ini yang harus dipertahankan.”

Dengan beroperasi sesuai standar RSPO ini, mereka merasakan peningkatan produksi, perbaikan kuantitas dan kualitas serta bisa menekan biaya produksi. Contoh, dana untuk herbisida sebelum RSPO Rp900 ribu, setelah RSPO menjadi Rp400 ribu per hektar per tahun. Produksi mereka pun meningkat, sebelum RSPO, berkisar 16 ton, setelah RSPO menjadi 21 ton per hektar per tahun.

Mengapa bisa begitu? Dengan standar ini, mereka melakukan analisa daun yang memunculkan kebutuhan pupuk. “Jadi, pupuk dilakukan tepat aktu, tepat guna, tepat tempat dan tepat dosis,” ucap Sunarno.

Dalam mengelola sawit ini, mereka tak akan menambah luas kebun, apalagi sampai masuk kawasan hutan. “Kita tak akan cari berapa luas hektar, dicari peningkatan produksi.”

Riau, produsen terbesar sawit di Indonesia. Data Kementerian Pertanian 2011, produksi sawit di Riau, 5,7 juta ton. Dari 2,1 juta hektar perkebunan di Riau, 1,1 juta hektar dimiliki petani swadaya, baik plasma maupun petani swadaya.

Hasil survei lapangan WWF memperlihatkan, kawasan hutan, baik lindung maupun konsesi tidak aktif menjadi sasaran utama perluasan kebun sawit. Dari sekitar 83.000 hektar Taman Nasional Tesso Nilo, sekitar 30.000 hektar dirambah menjadi kebun sawit. Untuk itu, petani swadaya bersertifikasi berkelanjutan terus diupayakan.

Irwan Gunawan, Deputy Director Market Transformation Initiative, WWF-Indonesia mengatakan, sertifikat ini membuktikan petani swadaya mampu memenuhi standar kelestarian.  Untuk program ini, WWF, sudah bekerja di Riau sejak dua tahun lalu dengan mengidentifikasi beberapa lokasi di beberapa kabupaten.  “Hasil identifikasi itu kelompok H Sunarno yang paling potensial. Kami anggap ini kehormatan, bagi Asosiasi Amanah jadi petani swadaya pertama yang dapat RSPO,” ujar dia.

Asosiasi Amanah, nyaris menjadi petani swadaya pertama yang mendapatkan RSPO. Namun, sudah keduluan petani swadaya dari Thailand, lulus sertifikasi Oktober 2012. “Jadi kedua di dunia.”

Harapan terbesar, katanya, asosiasi ini menjadi model yang bisa direplikasikan di wilayah lain di Indonesia. Mengingat sekitar 45 persen di kebun sawit Indonesia milik para petani baik plasma dan swadaya. Dari 40 persen itu 76 persen petani swadaya.

“Memang, belum ada data statistik yang tepat mengenai luasan kebun sawit petani swadaya ini. Baru perkiraan. Jika total kebun sawit resmi 9,7 juta hektar, 40 persen, 4 juta hektar. Antara 2,8 juta hektar itu swadaya.

WWF menargetkan, minimal 50 persen produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Indonesia memperoleh sertifikasi berkelanjutan. Data per Juni 2013, certificate sustainable palm oil (CSPO), Indonesia, baru sekitar 716 ribu ton. “Ini belum sampai 10 persen dari ekspor Indonesia. Data terakhir ekspor 18 juta ton.”

WWF menilai, petani swadaya banyak mengalami hambatan dan kendala dalam mengelola kebun sawit, antara lain finansial dan infrstruktur. WWF pun berharap, pemerintah dan pemangku kepentigan lain menempatkan petani swadaya jadi prioritas, baik akses kredit, teknis praktis agriculture maupuan pemasaran. Selama ini, petani swadaya memiliki posisi tawar rendah.

Desi Kusumadewi,  Direktur RSPO Indonesia mengatakan, sejak tahun lalu RSPO mengembangkan pendanaan dan sertifikasi khusus untuk petani swadaya.  Ke depan, diperkirakan petani swadaya makin besar hingga sangat penting menerapkan perkebunan baik dan berkelanjutan.

Lembaga ini akan memberikan RM5,7 juta atau Rp17,1 miliar bagi petani sawit swadaya di seluruh dunia. RSPO menargetkan, tahun ini, petani sawit swadaya di Riau, Sumatra Selatan (Sumsel) dan Jambi, mendapatkan sertifikasi.

Peta Lokasi Kebun Asosiasi Petani Sawit Amanah

Sunarno, perwakilan dari Asosiasi Petani Sawit Amanah, menerima sertifikat RSPO dari Desi Kusumadewi, Direktur RSPO Indonesia. Foto: Sapariah Saturi

Sunarno, perwakilan dari Asosiasi Petani Sawit Amanah, menerima sertifikat RSPO dari Desi Kusumadewi, Direktur RSPO Indonesia. Foto: Sapariah Saturi


Petani Sawit Swadaya Amanah Terima Sertifikat RSPO Pertama di Indonesia was first posted on August 2, 2013 at 1:52 pm.

Lahan Adat Dicaplok Sawit, Puluhan Warga Mantangai Nginap di Kantor Bupati

$
0
0
Aksi protes dan nginap warga Mentangai di Kantor Bupati Kapuas, Kalteng. Foto: Indra Nugraha

Aksi protes dan nginap warga Mantangai di Kantor Bupati Kapuas, Kalteng. Foto: Indra Nugraha

Sekitar 29 warga perwakilan empat desa di Kecamatan Mantangai, menginap di Kantor Bupati Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (12/9/13). Warga dari Desa Sei Ahas, Katimpun, Kalumpang dan Pulau Kaladan ini protes karena tak kunjung mendapat kepastian tanah adat yang diklaim perusahaan sawit, PT Rezeki Alam Semesta Raya (RASR). Padahal, sudah ada surat bupati dan gubernur yang memerintahkan pencabutan izin perusahaan skala besar dan yang belum clear dan clean.

Meski sudah beberapa kali rapat mediasi, belum ada kejelasan mengenai lahan warga  seluas 2.922 hektar. “Sebelum menginap di kantor bupati, kami mau menggelar aksi di lapangan. Kami sudah membuat surat akan aksi 7 September. Ternyata Sabtu-Minggu libur,” kata Musradi, warga Desa Sei Ahas.

Dia mengatakan, kapolres menentukan waktu aksi 9 September. Namun sebelum aksi, masyarakat mendapat undangan rapat mediasi dari Wakil Walikota Kuala Kapuas, Rabu (11/9/13). “Rapat mediasi tak menggembirakan, PT RASR tak datang. Berkali-kali rapat mediasi, mereka hanya datang sekali waktu rapat di provinsi September tahun lalu.”

Wargapun sepakat bertahan di kantor Bupati Kuala Kapuas hingga tuntutan mereka dikabulkan.“Di dalam undangan kalau kita lihat tembusan itu ada 19 pihak. Justru tembusan paling akhir, perusahaan. Seharusnya perusahaan jadi pihak kedua yang mengundang kami,” ucap Musradi.

PT RASR mulai menduduki lahan warga sejak 2004. Sejak saat itu, warga terus menuntut. Berkali-kali mereka melapor dan aksi tapi tak pernah membuahkan hasil. “Jika sampai tiga hari belum ada keputusan, kami akan mengambil langkah lain. Kami yang akan mengusir perusahaan dari tanah adat kami.”

Menurut Musradi, tanah tanah adat digunakan secara berkelompok.  Pengukuran tanah sudah dilakukan dan disepakati pemerintah daerah, Tripika Kecamatan dan BPN.

“Waktu itu yang belum masuk pengukuran ladang kami. Ketika tim mengukur, ladang masyarakat terlewat. Katanya tak ada waktu.”

Sebelum PT RASR masuk, masyarakat menggantungkan hidup dari hasil hutan seperti karet dan rotan. Kini, lahan hidup mereka hilang. Bahkan sungai yang mengalir di hutan adat mereka juga tak ada, berganti perkebunan sawit.

Masyarakat menolak ganti rugi perusahaan. Tuntutan mereka hanya ingin perusahaan keluar dari tanah adat dan mengembalikan hak mereka. “Perusahaan tak datang. Itu pelecehan terhadap pemerintah. Apalagi sebenarnya izin mereka sudah dicabut sejak 2010,” kata Porok C Tuwe, koordinator aksi.

Rapat dihadiri BPN, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, Dinas Perkebunan, Kapolres dan Wakil Bupati. Warga memutuskan menginap sebelum ada tindak lanjut.

Izin perusahaan ini,  sebenarnya sudah dicabut lewat Surat Bupati Kuala Kapuas no. 153 /Disbunhut/2010 tentang Pencabutan Izin Pembukaan Lahan Perkebunan Besar Swasta. Juga ada surat gubernur tertanggal 28 Juli 2013 tentang Penghentian Pengoperasian Perusahaan yang belum clear dan clean.

“Jika berdasarkan pada surat-surat keputusan itu, perusahaan harus menghentikan operasional dan mengembalikan hak atas tanah adat kami. Bahkan juga sudah ada keputusan Dewan Adat Dayak yang mengatur soal ini.”

Warga Mentangai ini menuntut kepastian pengembalian lahan adat mereka yang masuk wilayah perkebunan sawit. Foto: Indra Nugraha

Warga Mantangai ini menuntut kepastian pengembalian lahan adat mereka yang masuk wilayah perkebunan sawit. Foto: Indra Nugraha


Lahan Adat Dicaplok Sawit, Puluhan Warga Mantangai Nginap di Kantor Bupati was first posted on September 12, 2013 at 10:25 pm.

Warga Wajo Tagih Janji PTPN XIV Kembalikan Lahan sesuai Kesepakatan

$
0
0
Warga Kabupaten Wajo, Sulsel, menuntut pengembalian lahan yang sudah dijanjikan  PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV, sesuai kesepakatan. Sayangnya, kesepakatan sudah dibuat berkali-kali, janji tinggal janji. Sedang PT PN terus menanam sawit di lahan warga. Foto: Sapariah Saturi

Warga Kabupaten Wajo, Sulsel, menuntut pengembalian lahan yang sudah dijanjikan
PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV, sesuai kesepakatan. Sayangnya, kesepakatan sudah dibuat berkali-kali, janji tinggal janji. Sedang PT PN terus menanam sawit di lahan warga. Foto: Sapariah Saturi

PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV dituntut segera mengembalikan lahan warga Kecamatan Keera, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan (Sulsel), sesuai kesepakatan bersama di Kantor Markas Kepolisian Daerah (Polda) Sulsel, Makassar, 30 April 2013.

Tuntutan ini disampaikan Forum Petani Wajo dan Front Pembela Rakyat kepada media melalui juru bicara, Arman, di Makassar, Rabu, (11/9/13). Arman, mengatakan, pada pertemuan 30 April 2013, PTPN XIV menyatakan persetujuan segera memenuhi tuntutan warga, berupa pengembalian lahan seluas sekitar 2.000 hektar.

Selama ini, lahan warga yang diklaim milik PTPN, ditanami sawit. Dalam kesepakatan itu, proses pengembalian lahan  melalui mediasi Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo.

Turut hadir pada pertemuan 30 April 2013 itu antara lain, perwakilan PTPN XIV, Polda Sulsel, Kejaksaan Tinggi Sulsel, BPN Sulsel, BPN Wajo, DPRD Wajo, Kodam VII Wirabuana, dan Pemerintah Sulsel, Asisten I Pemda Wajo, Polres Wajo, serta Kodim Wajo.

Hadir pula warga yang tergabung dalam Forum Petani Wajo dan sejumlah lembaga non pemerintah yang tergabung dalam Forum Pembela Rakyat, antara lain Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, Jurnal Celebes dan Wallacea.

Kesepakatan lain, menjadikan lahan 2.000 hektar bisa dikelola warga hingga proses pengembalian tuntas. PTPN XIV juga menghentikan seluruh aktivitas perluasan dan penanaman di wilayah yang menjadi tuntutan warga. Pertemuan itu juga mengabulkan permintaan warga agar Polri dan TNI, netral dan tidak melakukan tindakan refresif kepada warga.

Menurut Arman, meski telah lima bulan hingga saat ini belum ada realisasi. “Ini seperti mengulang apa yang terjadi sebelum-sebelumnya.” Menurut dia, mewujudkan janji ini sangat tergantung pada itikad baik PTPN XIV dan Pemerintah Daerah Wajo.

“Kami sudah komunikasikan ke DPRD Wajo, katanya semua tergantung pada PTPN dan Pemda Wajo. Bola ada di tangan mereka.”

Arman khawatir, jika tidak segera terealisasi proses pengembalian lahan kembali terhenti. “Makin panjang dan rumit.”  Padahal, warga sudah diberi janji dengan kesepakatan itu.

Konflik lahan antara warga Kecamatan Keera dan PTPN XIV sudah berlangsung lama. Dalam rentang tiga tahun terakhir ini, tercatat sudah tiga kali mediasi, terakhir pada 30 April 2013.

Pertemuan di Kantor Markas Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan, Makassar, pada pada 30 April 2013. Dalam pertemuan ini PTPN XIV menyepakati pengembalian lahan warga seluas 2.000 hektar. Lima bulan setelah kesepakatan ini belum juga ada realisasi. Foto: Forum Petani Wajo

Pertemuan di Kantor Markas Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan, Makassar, pada pada 30 April 2013. Dalam pertemuan ini PTPN XIV menyepakati pengembalian lahan warga seluas 2.000 hektar. Lima bulan setelah kesepakatan ini belum juga ada realisasi. Foto: Forum Petani Wajo

Konflik lahan ini berawal dari PT Bina Mulia Ternak (BMT) masuk di Kecamatan Pitumpanua—kini berubah nama menjadi Kecamatan Keera–, dengan hak guna usaha (HGU) untuk lokasi pengembangbiakan ternak tahun 1972.

Kala itu, BMT berjanji memberikan ganti rugi dengan nilai bervariasi dari Rp12 juta-Rp25 juta. Ternyata, tak ada satu ganti rugi yang sampai ke tangan warga.

BMT makin memperluas wilayah hingga ke Kecamatan Maniangpajo (sekarang wilayah Kecamatan Gillireng) dengan masa kontrak 25 tahun. Lagi-lagi, tak ada ganti rugi ke masyarakat. Bahkan dalam proses terjadi intimidasi kepada masyarakat agar mereka menyerahkan lahan.

Data PTPN XIV, luas lahan yang diklaim sebagai HGU BMT Unit Keera saat itu sekitar 12.170 hektar. Dalam perkembangan, lahan BMT ini diambilalih PTPN XIV, prosesnya tanpa sepengetahuan warga setempat, pemilik lahan sebenarnya.

Luas lahan masyarakat yang dikuasai PTPN XIV 7.934 hektar, di wilayah Desa Ciromani’e dan Desa Awo, Kecamatan Keera. Dari sekian tahun dikuasai PTPN XIV, ternyata hanya sebagian yang ditanami. Sisanya, berupa padang ilalang terbengkalai. Ironis, tak boleh dimasuki dan dikelola masyarakat.

“Jika merujuk pada kesepakatan awal warga dengan BMT, seharusnya masa kontrak itu sudah berakhir 1998. Masyarakat seharusnya sudah bisa mengambil alih kembali lahan itu.” Kenyataan, PTPN bersikukuh menguasai lahan.

Pada 23 April 2010, sebenarnya telah terbangun kesepakatan antara masyarakat dengan PTPN XIV. Dalam pertemuan itu, ada tiga poin penting. Pertama, PTPN IX segera menghentikan seluruh aktivitas perluasan dan penanaman wilayah konsesi PTPN Kabupaten Wajo.

Kedua, masyarakat boleh mengelola lahan yang dirampas PTPN IX Wajo tanpa syarat apapun. Ketiga, aparat kepolisian dan PTPN XIV tidak mengganggu dan menghalang-halangi masyarakat yang memasuki dan mengelola lahan sengketa.

“Berangkat dari kesepakatan itu, masyarakat mengelola kembali lahan-lahan kosong yang belum ditanami sawit oleh PTPN. Justru di saat sama PTPN juga menanam sawit. Ini jelas-jelas melanggar apa yang telah disepakati bersama,” ucap Arman.

Lebih parah lagi, PTPN dibantu oknum kepolisian setempat juga melarang dan mengintimidasi warga. Puluhan warga sempat diciduk Polres Wajo dengan tuduhan menganggu aktivitas perkebunan PTPN XIV.

Menyikapi kondisi ini, pertemuan kembali dilakukan pada 3 April 2012. Hasilnya mengukuhkan kembali kesepakatan sebelumnya. Lagi-lagi tak menunjukkan niat baik. Pelepasan lahan seluas sekitar 2.000 hektar hanya janji-janji manis. PTPN XIV terus menanam sawit. Pertemuan terakhir 30 April 2013, hasil tak berbeda jauh. Hanya, pada pertemuan ini dilakukan skala provinsi, sebelumnya level kabupaten.

 


Warga Wajo Tagih Janji PTPN XIV Kembalikan Lahan sesuai Kesepakatan was first posted on September 12, 2013 at 11:42 pm.
Viewing all 209 articles
Browse latest View live